
KAJIAN TATA GUNA LAHAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN
LINGKUNGAN DAN PENINGKATAN EKONOMIMASYARAKAT DI KAWASAN SUB DAS KALI
PUTIH KABUPATEN JEMBER
Karya
Tulis Ilmiah
Di
Susun Oleh :
Fahmi
Arief Rahman (081510501066)
Lazuardi Cahya Abadi (081510501014)
Andika Septa S B H (081510501139)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI MINAT ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
ABSTRAK
Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di kabupaten Jember pada awal
tahun 2006 melanda 7 kecamatan dengan daerah yang paling parah terkena banjir adalah
Kecamatan Panti terutama disekitar sub DAS Kali Putih. Peristiwa banjir
bandang yang terjadi di kecamatan Panti kabupaten Jember tersebut diprediksi
akibat dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro yang terletak di bagian
utara Jember. Berangkat dari fenomena tersebut maka dilakukan survei untuk
melihat tata guna lahan di sekitar kawasan sub DAS Kali Putih di kecamatan
Panti Kabupaten Jember pasca bencana banjir tersebut. Hasil survei menunjukkan
bahwa tata guna lahan di beberapa titik kelerengan yang cukup curang sampai
sangat curang tidak sesuai. Dan juga perambahan di kawasan hutan lindung maupun
hutan produksi oleh perkebunan. Hal-hal tersebut yang mengakibatkankan longsor
dan banjir bandang di
sekitar kawasan sub DAS Kali Putih Kecamatan Panti Kabupaten Jember pada 1
Jnuari 2006.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kabupaten Jember adalah sebuah
kawasan yang terletak pada bagian timur wilayah Propinsi Jawa Timur. Berbatasan
dengan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Probolinggo di sebelah utara,
Kabupaten Lumajang di sebelah barat, Kabupaten Banyuwangi disebelah timur, dan
dengan Samudera Indonesia di sebelah selatan. Luas wilayah Kabupaten Jember
adalah 3.293,34 km2 (atau sebesar 7% dari 46.428,57 km2
luas wilayah Propinsi Jawa Timur) dengan karakter topografi berbukit hingga
pegunungan di sisi utara dan timur serta merupakan dataran subur yang luas ke
arah selatan.
Berdasarkan data dari Departemen
Kehutanan, Kabupaten Jember termasuk dalam kategori daerah rawan
bencana di Propinsi Jawa Timur seperti tampak pada peta daerah rawan bencana berikut ini:

Secara garis besar wilayah Kabupaten
Jember dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Termasuk ke dalam kedua kawasan tersebut adalah kawasan rawan bencana yang
berupa tanah longsor yang terdapat di berbagai kecamatan. Tanah longsor
tersebut berada di daerah-daerah yang memiliki tingkat erosi tinggi, kawasan
pantai, dan tanah-tanah gundul di kawasan hutang lindung (Widodo, 2011).
Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di kabupaten
Jember pada awal tahun 2006 salah satu penyebabnya adalah curah hujan sangat
tinggi selama tiga hari berturut-turut. Curah hujan dengan
intensitas tinggi di stasiun hujan Klatakan tercatat 178 mm/hr pada Sub DAS
Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih. Gejala banjir banding
sudah dimulai hari Minggu 1 Januari 2006 sekitar jam 17.00 WIB dengan puncak banjir bandang
terjadi jam 22.00 WIB. Bencana ini melanda 7 kecamatan dengan daerah yang paling parah terkena banjir adalah Kecamatan Panti. Kawasan yang
terkena bencana meliputi Desa Kemiri, Desa Suci dan Desa Serut. Desa Kemiri (Sub
DAS Kali Putih) dan Suci merupakan areal terparah yang terlanda banjir
sementara Desa Serut hanya sebagian kecil namun desa ini merupakan tempat
mengungsi masyarakat dari Desa Suci dan Kemiri (Naryanto et al., 2006)
Dari data BPS Kabupaten Jember bencana
banjir bandang yang terjadi 1 Januari 2006 mengakibatkan 76 orang meninggal
dunia (sumber yang lain menyebutkan 119 orang meninggal dunia), 15 orang hilang, 1.900
orang mengungsi. Banjir bandang ini juga menyebabkan 36 rumah hanyut, 2.400 rumah
rusak, 6 jembatan putus, 370 hektare lahan pertanian rusak tertimbun lumpur, 11
bendungan rusak, ratusan tanggul jebol, 20 km saluran irigasi rusak, dengan
kerugian yang ditaksir Satlak PBP Kab. Jember sekitar
Rp. 59,005 milyar (Priyantari et al.,
2009).
Peristiwa banjir bandang yang terjadi
di kawasan Sub DAS Kali Putih kecamatan Panti kabupaten Jember tersebut
diprediksi akibat dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro yang terletak di
bagian utara Jember. Hutan sebagai pelindung banyak yang ditebang sehingga
gundul. Hal ini dapat dilihat dari longsoran tanah bercampur air hujan
menerjang dan yang membawa balok-balok kayu. Balok-balok kayu terbawa banjir
dominan dari Pohon Jati, Pinus, Mahoni yang merupakan ciri dari hasil hutan
produksi. Peristiwa ini merupakan kesalahan dari penataan ruang wilayah di Jawa
Timur. Pegunungan Argopuro sebagai kawasan lindung yang merupakan daerah
resapan air, beralih menjadi perkebunan kakao dan kopi, serta hutan produksi
kemudian terjadi penebangan yang berakibat penggundulan (Putra, 2008).
1.1.1 Deskripsi Daerah Bencana Banjir
Bandang
v
Kondisi Geografi
Bagian selatan wilayah Kabupaten
Jember adalah dataran rendah. Bagian barat laut berbatasan dengan Kabupaten
Probolinggo adalah pegunungan yang merupakan bagian dari Pegunungan Iyang,
dengan puncaknya adalah Gunung Argopuro yang memiliki ketingian 3.088 m dari
permukan laut. Bagian timur merupakan bagian dari rangkaian Dataran Tinggi
Ijen. Kecamatan Panti mempunyai luas wilayah 160,71 km2 dengan ketinggian
rata-rata 71 m dari atas permukaan laut. Kecamatan Panti terdiri dari 7 desa
yaitu Kemuningsari Lor, Glagahwero, Serut, Panti, Pakis, Suci dan Kemiri. Batas
Kecamatan Panti yaitu sebelah Utara Kecamatan Bondowoso, sebelah Timur
Kecamatan Sukorambi, sebelah selatan Kecamatan Rambipuji dan sebelah barat
Kecamatan Bangsalsari. Jumlah penduduk Kecamatan Panti pada tahun 2005 sebanyak
56.419 jiwa terdiri dari 27.599 jiwa laki-laki dan 28.820 jiwa perempuan.
v
Kondisi Geologi
Secara morfologi, Kecamatan Panti
merupakan daerah perbukitan sebelah selatan-tenggara G. Argopuro dengan
ketinggian melandai dari 50 sampai 500 m di atas permukaan laut, dengan tatanan
stratigrafi Breksi Argopuro (Qvab) dan Endapan Kipas Argopuro (Qaf) (Sapei, et al., 1992). Breksi Argopuro merupakan
breksi gunung api bersusunan andesit dan bersisipan lava. Breksi andesit
berwarna abu-abu dengan masadasar tuf. Sisipan lava terdapat setempat,
bersusunan andesit. Satuan ini merupakan hasil kegiatan G. Argopuro yang
terakhir. Batuannya sudah sangat lapuk sehingga membentuk laterit yang cukup
tebal berwarna merah bata. Endapan Kipas Argopuro (Qaf) merupakan endapan kipas
hasil rombakan dari batuan gunungapi Argopuro. Komponen berukuran bongkah,
kerakal dan kerikil (Priyantari et al.,
2009)
v
Kondisi Vegetasi
Keadaan vegetasi penutup lahan
merupakan faktor penting dan dominan dalam rangka menekan laju erosi, banjir
dan longsor selain faktor-faktor yang lainnya seperti curah hujan, penggunaan
lahan, karakteristik wilayah (morfologi, baik kelerengan dan bentuk lanskap)
dan keadaan drainase. Semakin tinggi kerapatan suatu vegetasi pada suatu lahan
maka lahan tersebut semakin terjaga dari erosi, banjir dan longsor.
Alam sebenarnya telah memberikan
pelajaran dan contoh yang mestinya menjadi rujukan bagi terbentuknya
keseimbangan lingkungan. Salah satu dari sekian banyak contoh adalah peranan
vegetasi dalam mengatur kran keseimbangan air sepanjang tahun. Penutupan
vegetasi alam memainkan peranan penting dalam mengatur perilaku sistem drainase
air. Terutama efek spon yang menyekap air hujan dan air itu ditahan oleh hutan
dan padang rumput sehingga mengalir keluar lebih lambat dan merata ke dalam
sistem sungai, mengurangi kecenderungan banjir pada periode musim hujan dan
melepaskan air terus menerus selama periode musim kemarau. Fungsi ini akan
hilang apabila vegetasi kawasan tangkapan air di dataran tinggi menjadi rusak.
v
Tata ruang
Kawasan ini bila diidentifikasi dari
puncak sampai dengan lembah secara berurutan terdiri dari :
1) Kawasan puncak mempunyai ketinggian 1.900 m - 3.088 mdpl, merupakan kawasan
hutan suaka margasatwa dengan berbagai jenis pohon dan tanaman endemik, dengan
kelerengan sebagian besar di atas 45o;
2) Kawasan hutan lindung dengan kelerengan sebagian besar di atas 45o
dan hutan produksi yang sebagian kawasan mempunyai kelerengan di atas 45o;
3) Kawasan perkebunan besar swasta dengan tanaman kopi, kakao dan karet;
4) Kawasan pertanian, perkebunan rakyat dan permukiman.
Kawasan pegunungan Argopuro terdiri
dari Hutan Suaka Margasatwa seluas 14.177 Ha yang dikelola oleh Balai
Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jatim II, Hutan Lindung seluas 47.215,7 Ha
dan Hutan Produksi seluas 28.794,9 Ha yang dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Sedangkan yang berada di
lereng Pegunungan Argopuro termasuk bagian hutan lereng Hyang Selatan terdiri
dari hutan produksi seluas 8.368,1 Ha dan hutan lindung seluas 20.392,1 Ha.
Kondisi Suaka Marga Satwa yang
dikelola BKSDA yang termasuk dalam wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali
Putih menunjukkan terdapat longsoran seluas ± 5 Ha dan ± 100 batang pohon yang
tumbang akibat terjangan angin masuk ke Danau Merah.
Kondisi Hutan Lindung dan Hutan
Produksi yang dikelola Perum Perhutani di wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS
Kali Putih menunjukkan terjadi pengurangan tegakan akibat kematian alami dan
terindikasi adanya penebangan kayu liar pada tahun 1997/1998. Kawasan tersebut
yang berhimpit dengan Perkebunan Besar Swasta dengan kelerengan lebih dari 45%
dirambah dan ditanami kopi seluas 46 Ha, yang seharusnya dilarang dan
dipertahankan tetap menjadi hutan lindung. Kondisi ini merupakan salah satu
pemicu terjadinya longsor pada saat curah hujan tinggi.
Di wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS
Kali Putih terdapat dua Perkebunan besar swasta, yaitu Perkebunan Keputren yang
dikelola oleh PT. JA Wattie/Bina Surya Group dan Perkebunan Kali Klepuh/Gunung
Pasang yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kabupaten Jember.
Kawasan Perkebunan tersebut mengalami bencana terparah pada kejadian banjir
bandang. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tata guna lahan pada kawasan
perkebunan kurang melindungi tanah terhadap curah hujan yang tinggi sehingga
menjadi salah satu pemicu terjadinya tanah longsor ke Sungai Dinoyo dan Kali
Putih.
1.1.2 Faktor-faktor penyebab longsor dan banjir
bandang di kawasan sub DAS Kali Putih
Naryanto et al. (2007), menyatakan
bahwa terjadinya gerakan tanah (longsor) dan banjir bandang di Kabupaten
disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1) Faktor Geologi
a)
Daerah bencana (di bagian hulu)
memiliki kelerengan yang agak curam sampai dengan sangat curam (8-55°/15–40%),
sedangkan di bagian hilir (kawasan perladangan, pertanian dan permukiman) kelerengannya
agak miring sampai dengan miring (2-8°/ 2–15 %). Dengan demikian daerah hulu
merupakan daerah yang rentan longsor.
b)
Daerah bencana tersusun oleh batuan
vulkanik tua yang tingkat konsolidasinya relatif rendah, di bagian hulu
ketebalan tanah pelapukannya mencapai lebih dari 10 m.
c)
Lapisan tanah pelapukan mudah jenuh
air jika terkena hujan, menjadi plastis/ lembek, yang akhirnya mudah longsor.
d)
Pada lereng curam-sangat curam, masih
dijumpai areal perkebunan dengan jenis tanaman kopi dan kakao (perakaran
pendek).
2) Faktor Peruntukan Lahan, yaitu adanya ketidaksesuaian pemanfatan lahan baik
di kawasan lindung, meliputi hutan lindung, areal cadangan hutan perkebunan dan
lahan milik masyarakat yang mempunyai kelerengan di atas 40%, maupun kawasan
budidaya meliputi areal perkebunan, hutan produksi dan lahan milik masyarakat;
3) Faktor iklim, curah hujan pada tanggal 31 Desember 2005 yang di atas
normal, yaitu 178 mm/hari dari curah hujan normal 32 mm/hari, mengakibatkan
infiltrasi air hujan ke dalam lereng relatif besar. Dengan kondisi tersebut,
lereng menjadi kritis, sehingga terjadi gerakan tanah/longsor.
Longsoran-longsoran tersebut meluncur ke bawah dan berhenti di dasar lembah
yang sempit, dimana pada dasar lembah tersebut terdapat alur sungai. Oleh
karena itu, alur sungai terbendung oleh material longsoran, sehingga terjadi
akumulasi air dalam jumlah besar. Pembendungan tersebut suatu saat tidak mampu
lagi menahan tekanan air dan jebol, maka terjadilah banjir bandang.
4) Faktor Hidrologi, yaitu curah hujan pada saat terjadinya bencana termasuk
kategori tinggi (di atas normal), sehingga mengakibatkan terjadinya limpasan di
atas tanggul (daya tampung sungai tidak mampu, mengakibatkan terjadinya luapan
air), sehingga berdampak pada kerusakan sarana dan prasarana sungai. Disamping
itu, limpasan di atas tanggul tersebut juga mengakibatkan erosi pada dasar dan
tebing sungai.
5) Faktor Sosial, yaitu masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam
memanfaatkan lahan sesuai kaidah konservasi tanah, pemahaman pemanfaatan kawasan
lindung pada sempadan sungai serta pelestarian lingkungan hidup.
1.2
Tujuan Dan Manfaat
1.2.1
Tujuan
Karya tulis ilmiah ini
bertujuan untuk mengkaji tata guna lahan di kawasan sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember.
1.2.2
Manfaat
Dapat di jadikan
sebagai suatu rekomendasi tata guna lahan di kawasan sub DAS
Kali Putih Kabupaten Jember.
BAB
2. METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian Karya Tulis Ilmiah ini dilaksanakan di kawasan Sub DAS Kali Putih
Kabupaten Jember pada tanggal 03 Oktober 2011.
2.2
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang
digunakan dalam penelitian ini diantaranya alat tulis, kamera, peta geologi dan
peta topografi, dan laporan lainnya yang
berhubungan dengan daerah pengamatan, serta alat penunjang lainnya.
2.3
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan
dengan melakukan survei lapang. Metode survei lapang dilakukan dengan beberapa
tahapan kegiatan, diantaranya pengumpulan data skunder, pengamatan di sepanjang
sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember, dan melakukan analisis data.
2.3.1
Pengumpulan data Skunder
Pengumpulan
data skunder berasal dari data – data penelitian yang sebelumnya telah
dilakukan yang terkait tentang penelitian baik berupa laporan maupun peta. Data ini diantaranya laporan hasil penelitian
tanah dan geologi, serta peta rupa bumi skala 1 : 25.000. data ini nantinya
dapat digunakan untuk mendapat informasi awal mengenai kondisi daerah
penelitian, seperti jenis tanah, kondisi geologi atau bahan induk dan
ketinggian tempat.
2.3.2
Pengamatan di sepanjang sub DAS Kali
Putih
Dari
data – data skunder yang didapatkan lalu dilakukan pengamatan di daerah
penelitian yakni di kawasan Sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember. Pengamatan
dilakukan secara langsung terutama pengamatan secara fisik daerah sub DAS Kali
Putih Kabupaten Jember dan pengamatan disesuikan dengan kebutuhan data yang
ingin diperoleh. Pengamatan yang dilakukan dengan melihat kondisi secara
langsung di lapang pada daerah lereng serta bentuk lahan dan bagaimana
pengelolaan dan pengunaanya, kemudian hasil pengamatan diabadikan dengan mengambil
gambar daerah yang dimati menggunakan kamera.
2.3.3 Analisis
Data
Data–data
hasil dari data skunder dan pengamatan lapang kemudian dilakukan analisis data.
Analisis data dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengelolaan dan keadaan
terkini daerah yang diteliti yakni Sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember.
Selanjutnya data tersebut digunakan untuk memberikan rekomendasi bagaimana
seharusnya penggunaan lahan dan penataan
lahan yang diteliti sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisir dan
mencegah terjadinya bencana yang pernah melanda di kawasan Sub DAS Kali Putih
Kabupaten Jember, serta mensejahterakan tingkat ekonomi masyarakat yang tinggal
disekitar kawasan Sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember yang diteliti.
BAB
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
v
Kawasan pegunungan Argopuro terdiri
dari Hutan Suaka Margasatwa seluas 14.177 Ha yang dikelola oleh Balai
Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jatim II, Hutan Lindung seluas 47.215,7 Ha
dan Hutan Produksi seluas 28.794,9 Ha yang dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
v
Sedangkan yang berada di lereng
Pegunungan Argopuro termasuk bagian hutan lereng Hyang Selatan terdiri dari
hutan produksi seluas 8.368,1 Ha dan hutan lindung seluas 20.392,1 Ha.
v
Daerah bencana (di bagian hulu)
memiliki kelerengan yang agak curam sampai dengan sangat curam (8-55°/15–45%),
sedangkan di bagian hilir kelerengannya agak miring sampai dengan miring (2-8°/
2–15 % ).
v
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Jember Belum Sepenuhnya Dijadikan Sebagai Pedoman/Acuan dalam
Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

v
Topografi kecamatan Panti
dalam peta citra ketinggian 3 dimensi

v
Keadaan topografi dan sebaran pemukiman

v
Sub DAS Kali Putih terletak di bawah
lembah antar berbagai perbukitan
![]() |
v
Kawasan pemukiman didasar lebah
berdekatan dengan sub DAS Kali Putih
![]() |
v
Pada lereng curam-sangat curam, masih
dijumpai areal perkebunan dengan jenis tanaman kopi (perakaran pendek).

v
Lereng curam terlihat tidak ada pohon
berakar dalam sebagai penahan erosi

3.2 Pembahasan
Berdasarkan pengamatan lapangan
menunjukkan bahwa tata guna lahan pada kawasan sub DAS Kali Putih terdiri dari kawasan
hutan lindung dengan kelerengan sebagian besar di atas 45o, hutan
produksi yang sebagian kawasan mempunyai kelerengan di atas 45o, kawasan
perkebunan besar swasta (kelerengan bervariasi, dari mulai tidak curam, curam
sampai sangat curam) dengan tanaman kopi, kakao dan karet, perkebunan rakyat,
kawasan pertanian serta pemukiman.
Untuk tata guna lahan di beberapa
titik di kawasan sub DAS Kali Putih terlihat kurang melindungi tanah terhadap
curah hujan yang tinggi sehingga menjadi salah satu pemicu terjadinya tanah
longsor ke Sungai Dinoyo dan Kali Putih.
Menurut beberapa sumber tata guna
lahan untuk sebagian besar kawasan sub DAS Kali Puih merupakan kawasan Hutan
Lindung dan Hutan Produksi, sedangkan sisanya meruapakan kawasan perkebunan.
Kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani di
wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih menunjukkan terjadi pengurangan
tegakan akibat kematian alami dan terindikasi adanya penebangan kayu liar pada
tahun 1997/1998. Kawasan tersebut yang berhimpit dengan Perkebunan Besar Swasta
dengan kelerengan lebih dari 45% dirambah dan ditanami kopi seluas 46 Ha, yang
seharusnya dilarang dan dipertahankan tetap menjadi hutan lindung. Kondisi ini
merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor pada saat curah hujan tinggi.
Menurut data Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember banyak sekali di temukan
penyimpangan. Data tersebut menunjukkan banyak banyak alih fungsi lahan yang
seharusnya tidak terjadi, seperti rencana lahan yang seharunya di gunakan
sebagai kawasan perkebunan seluas 255,30
km2 menjadi lebih luas 265,14 km2. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dalam hal tata guna lahan, penambahan
areal perkebunan tersebut berasal dari konversi lahan hutan lindung yang
seharusnya keutuhan arealnya di jaga guna menjaga keseimbangan alam.
Kawasan sub DAS Kali Putih yang
memiliki kemiringan ≥ 40% merupakan daerah yang harus diperhatikan dan dijaga
kondisi lahannya karena kemungkinan pengaruh terjadinya erosi berada pada
kemiringan yang semakin curam. Semakin curam suatu daerah, maka daerah tersebut
berada pada tingkat pengaruh bahaya erosi yang paling besar. Dengan demikian,
potensi terjadinya erosi di daerah tersebut adalah lebih besar. Untuk lahan
dengan kemiringan lereng > harus di jadikan sebagai kawasan hutan
lindung atau dengan kata lain tidak boleh di gunakan sebagai kawasan
perkebunan. Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan dilapang yang ada
sekarang. Menurut Kartasapoetra et.al, (1991) Kelerengan lahan merupakan faktor
yang sangat penting. Lahan yang curam lebih mudah terganggu dan mengalami
kerusakan tanah terutama oleh faktor erosi.
Disamping kemiringan lereng yang
cukup curam, tingginya curah hujan mempunyai peran penting dalam terjadinya
longsor yang terjadi di kawasan sub DAS Kali Putih. Dengan curah hujan 178 mm/hari dari curah hujan normal 32 mm/hari, mengakibatkan infiltrasi
air hujan ke dalam lereng relatif besar. Dengan kondisi tersebut, lereng
menjadi kritis, sehingga terjadi gerakan tanah/longsor. Longsoran-longsoran
tersebut meluncur ke bawah dan berhenti di dasar lembah yang sempit, dimana
pada dasar lembah tersebut terdapat alur sungai. Oleh karena itu, alur sungai
terbendung oleh material longsoran, sehingga terjadi akumulasi air dalam jumlah
besar. Pembendungan tersebut suatu saat tidak mampu lagi menahan tekanan air
dan jebol, maka terjadilah banjir bandang.
Vegetasi di
kawasan sub DAS Kali Putih yang memeiliki perakaran pendek (tanaman perkebunan)
tidak dapat menahan erosi, sehingga pada kawasan tersebut mudah terjadi
longsor. Sistem
perakaran dari tanaman dapat menambah kohesi yang akan menghambat
terjadinya longsor. Vegetasi akan memodifikasi kandungan air dalam tanah dengan
menurunkan muka air tanah akibat adanya evapotranspirasi, sehingga dapat
menunda tingkat kejenuhan air tanah. Dengan demikian akan menambah kemantapan
lereng. Fungsi lain dari vegetasi adalah pada
penambahan beban lereng, menambah tekanan geser, gaya
mendorong atau gaya menahan, sehingga
lereng tidak mudah longsor. Beban tanaman atau vegetasi tersebut akan menambah kemantapan lereng pada sudut lereng sekitar 34°
atau kurang, sedang untuk sudut yang lebih besar maka beban tanaman akan dapat mengganggu kestabilan lereng. (Sudarsono 2003).
Menurut BPK-RI (2006), penyebab lain yang
mengakibatkan terjadinya banjir dan longsor menurut data yang ada adalah peran
instansi pengendali dampak lingkungan, yaitu Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan Hidup Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jember (DKLH)
belum berjalan secara optimal. Hal ini terjadi karena kendala-kendala sebagai
berikut :
- Secara kelembagaan, semestinya untuk menjalankan peran pengendalian dampak lingkungan di Kabupaten Jember yang memiliki kawasan perkebunan dan kehutanan yang cukup luas diperlukan satu institusi yang kuat setingkat dinas atau badan.
- Sumber Daya Manusia yang dimiliki masih sangat terbatas, dengan jumlah pegawai sebanyak 9 orang dengan komposisi 1 Kepala Bidang, 2 Kepala seksi, dan 4 orang staf/tenaga teknis, 2 orang tenaga rolstat.
- Peralatan pengujian yang dimiliki untuk menunjang pelaksanaan tupoksi belum memenuhi standard minimal yang dipersyaratkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
- Sebagian besar DAS dikelola oleh PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) bukan PERHUTANI, hal ini mengakibatkan pengalihan fungsi lahan yang seharusnya sebagai hutan lindung dijadikan perkebunan.
Berdasarkan Perda Kabupaten Jember
Nomor 026 Tahun 2003 tanggal 23 Desember 2003 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember dalam Pasal 4 ayat
(3) dan ayat (5) disebutkan antara lain Dishutbun mempunyai fungsi untuk
melaksanakan pengawasan dan pengendalian teknis di bidang Kehutanan dan
Perkebunan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Bupati serta
melaksanakan bimbingan teknis di bidang Kehutanan dan
Perkebunan.
Dari pengelolaan kawasan hutan dengan
memperhatikan luas wilayah daerah kerja Dishutbun tersebut, ternyata hanya
Hutan Rakyat yang selama ini dapat terjangkau kegiatan pembinaan dan pengawasan
sesuai realisasi program penanganan daerah-daerah kritis berupa paket bimbingan
teknis dan penyuluhan dibidang kehutanan. Padahal daerah kritis di kawasan
hutan dan perkebunan yang telah diinventarisir oleh Dishutbun Kabupaten Jember
pada tahun 2004 seluas 90.146,44 ha tersebar di 31 kecamatan dan terletak di 8
Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana luas wilayah tersebut termasuk area yang dimiliki
dan dikelola institusi Pemerintah lain dan pemegang HGU/Perkebunan.
Permasalahan tersebut disebabkan
adanya keengganan dari pihak Dishutbun untuk menegur institusi lain di luar
Pemda Kabupaten Jember. Hal tersebut mengakibatkan semua kawasan hutan yang
dikelola institusi di luar Pemda Kabupaten Jember dan kawasan HGU/Perkebunan
tidak pernah mendapat surat peringatan dari Dishutbun untuk mengelola
lingkungan hutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah dan
Daerah terkait tata guna lahan di beberapa titik yang ada di kawasan sub DAS
Kali Putih yang sebenarnya melarang kawasan dengan kemiringan lereng >
40% untuk di gunakan sebagai areal perkebunan merupakan dasar terjadinya
bencana longsor dan banjir bandang. Namun adanya perkebunan juga berdampak positif
khususnya bagi masyarakat yang tinggal disekitar kawasan sub DAS Kali Putih.
Dampak positif keberadaan perkebunan
antara lain : terciptanya lapangan kerja, kesempatan berusaha, ekonomi,
peningkatan pendapatan penduduk di sekitar kebun dan pabrik pengolahan.
Disamping dampak positif di atas, kegiatan perusahaan masih menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan yang disebabkan oleh belum sempurnanya Unit
Pengolahan Limbah (UPL) yang telah ada.
Kontribusi PDP Kebupaten Jember
kepada PAD Pemerintah Kabupaten Jember dari Tahun 2001 sampai dengan Tahun
2005, adalah sebagai berikut:

Konsep Pengelolaan DAS Kali Putih
Adanya keterkaitan
antara daerah hulu, tengah dan hilir pada DAS, maka konsep perencaan dan
pengelolaan daerah aliran sungai hendaklah berpedoman pada satu sungai satu
perencanaan dan satu pengelolaan. Hendaknya masing masing daerah dalam satu
kawasan DAS tidaklah mementingkan kepentingan sendiri, namun harus memikirkan
kepentingan bersama agar kelangsungan fungsi DAS secara optimal dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, perencaan dan pengelolaan suatu kawasan hendaknya
berbasis pada DAS.
Pengelolaan
daerah hulu misalnya, mengingat baik dan buruknya pengelolaan daerah hulu,
dampaknya akan dirasakan semua yang ada di dalam kawasan DAS tersebut, maka
timbul pemikiran perlunya kompensasi daerah hilir dan tengah untuk daerah hulu,
selanjutnya kompensasi apa yang harus diberikan. Semuanya tadi perlu koordinasi
dan duduk bersama dalam perencanaan pengelolaan, yang diikuti oleh semua daerah
dalam kawasan DAS, namun masalahnya pengelolaan hanya dilakukan oleh PDP,
sehingga seluruh kegiatan sepenuhnya dikelola oleh PDP, masyarakat setempat DAS
Kali Putih hanya sebagai pekerja. Adanya hal tersebut, maka Setiap daerah (baik
di hulu, tengah dan hilir) mempunyai kewajiban masing-masing untuk mengelola
wilayahnya, agar DAS dapat berfungsi secara optimal.
Konservasi Lahan
Konservasi merupakan bentuk penghematan penggunaan
sumber daya alam dan memperlakukannya berdasarkan hukum alam, dimana upaya
tersebut ditempuh untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus
berkesinambungan baik mutu maupun jumlah yang dalam hal ini adalah
berkesinambungannya lahan. Terdapat beberapa masalah yang ada dalam upaya konservasi
lahan di DAS Kali Putih Kabupaten Jember, diantaranya adalah :
1. Jumlah penduduk
dengan penyebaran yang tidak merata, yang sebagian besar tersebar di DAS Kali
Putih Kabupaten Jember berdampak pada penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya di kawasan DAS Kali Putih Kabupaten Jember.
2. Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, dengan mata
pencaharian yang bersifat agraris akan memerlukan lahan, sehingga terjadi
tumpang tindih kepentingan antara konservasi dan eksploitasi lahan.
3. Terbatasnya SDM penduduk di daerah DAS Kali Putih
Kabupaten Jember.
4. Kurangnya penyuluhan tentang konservasi lahan.
Rekomendasi Konservasi Lahan
Upaya konservasi lahan di DAS Kali putih ini
dapat ditempuh dengan penggunaan tanaman atau tumbuhan atau sisa tumbuhan dengan
cara sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi laju erosi bahkan longsor dengan
cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh dan jumlah daya rusak aliran
permukaan.
Konservasi ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara yaitu:
1. Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang dengan
sengaja ditanam untuk melindungi tanah dari erosi, menambah bahan organik
tanah dan sekaligus meningkatkan produktivitas tanah .
2. Penanaman Berganda
Berguna meningkatkan produktivitas lahan sambil
menyediakan proteksi
terhadap tanah dari erosi. Sistem ini dapat dilakukan
baik dengan cara penanaman beruntun, tumpang sari atau tumpang gilir. Tanaman
berganda menggunakan dua atau lebih jenis tanaman yang ditanam serentak atau bersamaan
pada sebidang tanah baik secara campuran ataupun terpisah dalam baris yang
teratur, sistem ini mampu menekan laju erosi dan aliran permukaan misalnya
menanam tanaman tahunan, tanama perkebunan dan tanaman semusim ditanam
bersamaan dengan teknik intercropping tertentu.
4. Penanaman lorong (alley cropping)
Menggunakan dua atau lebih jenis tanaman pada
sebidang tanah, dimana
salah satu jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman
non pangan, tanaman pokok ditanam di lorong diantara tanaman non pokok sebagai pagar,
sedangkan fungsi tanaman pagar adalah sebagai sumber pupuk hijau, dapat
mengurangi erosi, sumber kayu bakar dan sumber makanan ternak. Sebagai contoh
tanaman tanaman kopi ditanam di tengah tanaman pagar, dapat berupa mahoni,
sengon, dan lamtoro.
5.
Agroforestri
Salah satu bentuk tumpang sari yang
banyak diterapkan dan sangat efektif dalam menunjang konservasi tanah dan air
adalah sistem agroforestri. Agroforestri merupakan pola tumpang sari yang
memadukan tanaman tahunan (hutan) dengan
tanaman pertanian (tanaman pangan, hortikultura atau perkebunan). Pola ini
cukup efektif dalam pengendalian erosi dan banjir, rehabilitasi lahan, dan
melalui pola tanam secara khusus cukup efektif dalam konservasi lereng rawan
longsor. Oleh karena itu, penetaptan luasan hutan minimum 30% dari luas DAS
merupakan satu langkah yang tepat dalam menanggulangi erosi dan banjir,
disamping upaya konservasi lainnya.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas menekan laju erosi,
penerapan pola agroforestri dapat dipadukan dengan upaya-upaya konservasi
lainnya, seperti pembuatan teras bangku, saluran pembuangan, pembuatan terjunan
air dan pembuatan bangunan lainnya, sehingga sedimentasi dapat ditekan. Selain
tumpang sari tanaman tahunan dan tanaman semusim (pangan) juga dapat dimasukan
tanaman hortikultura dan rumput pakan ternak, sehingga tercipta pola usahatani
terpadu dengan ternak. Tanaman pangan (semusim) dilakukan pada bidang teras
seperti padi, kacang tanah, kedelai, jagung dan kacang panjang sebagai tanaman
sela.
Peristiwa tanah longsor di DAS Kali Putih Kabupaten Jember dan daerah lain baru-baru ini merupakan bencana alam yang harus
diminimalisasi. Bencana alam tanah longsor sering terjadi karena pola
pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah kelestarian lingkungan, seperti
gundulnya hutan akibat deforesterisasi, dan konversi hutan menjadi lahan
pertanian dan pemukiman di lahan
berkemiringan lereng yang terjal. Kejadian longsor di beberapa tempat di DAS Kali Putih, diduga disebabkan kondisi lahan dengan kemiringan lebih 45o
dengan permukaan lahan relatif terbuka, digunakan untuk budidaya jagung,
ketela,
dan pisang. Curah hujan
saat kejadian sangat tinggi yang mengguyur sepanjang malam menyebabkan masa tanah
di permukaan menjadi jenuh air, sehingga lereng tidak stabil lagi, dan terjadi
longsor.
Beberapa pohon yang dapat direkomendasikan
sebagai tanaman pagar pada pola agroforestry adalah mahoni, sengon, lamtoro,
dan bambu.
5. Penghutanan Kembali (reboisasi)
Penghutanan kembali merupakan cara yang cocok
untuk menurunkan erosi dan aliran permukaan, terutama jika dilakukan pada
bagian hulu daerah tangkapan air untuk mengatur banjir, secara lebih luas,
penghutanan kembali dapat diartikan sebagai usaha untuk memulihkan dan menghutankan
kembali tanah yang mengalami kerusakan fisik, kimia, maupun biologi, baik
secara alami maupun oleh ulah manusia.
Program penghijauan dan penghutanan
kembali perlu terus dilakukan dalam rangka upaya pengendalian erosi dan banjir
baik di lahan petani maupun di kawasan hutan. Sistem penanaman penghutanan
kembali baik di dalam dan di luar kawasan dapat dilakukan dengan dua pola,
yaitu murni tanaman kayu (bisa satu jenis tanaman kayu atau campuran) maupun
agroforestri. Pola agroforestri yang merupakan pola tumpang sari antara tanaman tahunan (hutan) dengan tanaman
pertanian, mampu menutup tanah dengan sempurna sehingga berpengaruh efektif
terhadap pengendalian erosi dan peningkatan pasokan air tanah.
Perhutani dalam rangka pelaksanaan
program pembangunan hutan, menerapkan pola agroforestry dengan melibatkan
masyarakat sekitar hutan untuk ikut berpartisipasi, seperti program pembangunan
hutan bersama masyarakat (PHBM). Pada saat tanaman tahunan masih kecil petani
sekitar hutan dapat mengusahakan lahan untuk budidaya tanaman semusim. PHBM
yang dulu dikenal sebagai perhutanan sosial, akan berdampak positif ganda,
disamping dapat membantu masyarakat secara ekonomis (dari hasil tanaman semusim
dan rumput untuk pakan ternak) juga kelestarian tanaman hutan akan terjamin,
karena tumbuh kesadaran petani untuk memeliharanya. Selain itu, penghijauan di
lahan petani (pembangunan hutan rakyat) sangat efektif dilakukan melaui pola
agroforestri, karena petani tertopang kebutuhan hidupnya dari usaha
pertaniannya sekaligus sebagai upaya
penghijauan.
BAB
4. KESIMPULAN
1. kawasan sub DAS Kali Putih terdiri dari kawasan hutan lindung, hutan
produksi, kawasan perkebunan besar swasta, perkebunan rakyat, kawasan pertanian
serta pemukiman.
2. Terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi dengan
kelerengan 45% yang dikelola Perum Perhutani di wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub
DAS Kali Putih untuk di tanami tanaman kopi.
3. Menurut data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Jember banyak sekali di temukan banyak alih fungsi lahan.
4. Penyebab banjir yang laian diantaranya adalah tingginya curah hujan selama
beberapa hari berturut-turut, tidak adanya vegetasi penahan laju pergerakan
tanah permukaan, peran DKLH dan Dishutbun yang kurang optimal.
5. Dampak positif keberadaan perkebunan antara lain : terciptanya lapangan
kerja, kesempatan berusaha, ekonomi, peningkatan pendapatan penduduk di sekitar
kebun dan pabrik pengolahan.
6. Perlu adanya upaya konservasi lahan baik itu melalui penggunaan tanaman penutup tanah, penanaman
berganda, penanaman lorong (alley cropping), agroforestri dan penghutanan
kembali (reboisasi).
DAFTAR
PUSTAKA
BPK-RI. 2006.
Pengelolaan Dan Pengendalian Lingkungan
Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bedadung, Kabupaten Jember. BPK-RI. Jakarta.
Kartasapoetra;
dan M.M Sutedjo. 1991. Teknologi
Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Naryanto,
H.S; Wisyanto; dan Bambang Marwanta. 2007. Potensi
Longsor dan Banjir Bandang Serta Analisis Kejadian Bencana 1 Januari 2006 Di
Pegunungan Argopuro, Kabupaten Jember. Alami 12 (2); 2007.
Naryanto,
H.S; Wisyanto; dan Bambang Marwanta. 2006.
Apid Assessment Pasca Bencana Longsor Dan Banjir Bandang Di Pegunungan
Argapuro, Kabupaten Jember 1 Januari 2006. Alami 7 (6); 2006.
Priyantari,
N; Agus S; dan Supeno. 2009. Survei
Profil Muka Bumi Dan Sebaran Pemukiman Di Kecamatan Panti Kabupaten Jember
Pasca Bencana Longsor Dan Banjir. Bencana 3 (6); 2009.
Putra, W.N.
2008. Bencana Alam Panti Jember Jawa
Timur. http://BENCANA%20ALAM%20PANTI%20JEMBER.htm.
Diakses pada 05 November 2011.
Sapei, et al.. 1992. Geologi Lembar Jember, Jawa.
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi. Bandung.
Widodo, A.
2011. Peran Geokimia Terhadap Stabilitas
Lereng Tanah Residu Vulkanik Di Daerah Panti Jember Jawa Timur. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment