
MEKANISME PERDAGANGAN KARBON MELALUI
PERJANIAN INTERNASIONAL SEBAGAI DAMPAK DARI MENINGKATNYA EMISI GAS RUMAH KACA
(GRK)
Di Susun Oleh :
Ali Zainal Abidin (081510501048)
Ari Vidiarta P. (081510501052)
Rizki Aditya P. (081510501049)
Andika Septa S.B.H. (081510501139)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena
global yang ditandai dengan perubahan suhu udara dan distribusi hujan. Dalam
keadaan iklim yang berubah semua tempat dibumi akan mengalami peningkatan suhu
udara dan perubahan curah hujan baik dari segi jumlah maupun waktunya. Perubahn
iklim tidak terjadi secara seketika, melainkan melalui oroses yang berlangsung
dalam jangka yang panjang dan terjadi secara berangsur-angsur.
Penyebab
utama terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
sejak 150 tahun yang lalu, ketika negara-negara industri atau negara maju mulai
melakuakan alih guna lahan untuk membangun ekonominya. Untuk menstabilkan emisi
GRK diperlukan penangan secara global melalui sebuah perjanjian internasional.
Perjanjian nasional itu adalah munculnya
Protocol Kyoto. Protokol kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur
tatacara penggunaan emisi gas rumah kaca sehingga tidak mengganggu sistem iklim
bumi. Protokol Kyoto ini menargetkan penurunan emisi GRK paling sedikit
5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen 2008-2012. negara-negara
maju haru mampu menurunkan emisi (Sada, R. 2007).
Berdasarkan kewajiban yang sebesar itu
negara maju berusah mencari cara agar terjadi pembagian beban yang adil, dengan
menggunakan mekanisme pasar. Mekanisme pasar ini adalah dimana negara maju akan
berusaha menurunkan emisi sebanyak-banyaknya dengan biaya yang serendah-rendah
mungkin. Untuk menurunkan hal ini maka negara-negara maju tersebut menggandeng
negara-negara lain dengan berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme yang ditawarkan
adalah perdagangan emisi, joint implimintion, dan clear devolepment mechanism.
Clean devolopment mecahanisme (CMD) adalah
negara maju ikut berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai target
penurunan emisi. Dengan demikian maka akan diperoleh hasil yang saling
menguntungkan dimana untuk negara yang berkembang dapat meningkatkan
pembangunan berkelanjutan, sedangkan untuk negara maju sebagai wujud dar
konvensi yakni menstabilkan gas rumah kaca sehingga tidak membahayakan sistem
iklim bumi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang mendasari
terbentuknya protokol kyoto?
2. Bagaimana mekanisme
perdagangan karbon di dunia internasional?
II. TINJAUAN PUSTAKA
Terjadinya perubahan iklim global merupakan faktor
pendorong lahirnya sebuah mekanisme perdagangan karbon atau carbon trade
mechanism (CTM) untuk mengurangi suhu bumi yang telah mencairkan gunung Es
dikutub utara dan selatan, sehingga dibangunlah sebuah mekanisme perlindungan
hutan dinegara-negara ketiga yang masih mempunyai tutupan hutan, tentunya jasa
lingkungan yang dilakukan dan diberikan oleh negara-negara yang masih memiliki
hutan tropis ini harus dikompensasi atau dibayar, walaupun kemudian seperti
yang ditengarai oleh banyak pihak, carbon trade mechanism tak lebih dari sebuah
mitos pencucian dosa negara-negara maju (Gumay, D, 2007).
Rintisan awal
untuk mengembangkan mekanisme pembiayaan penyerapan karbon dimulai pada pertemuan
Tingkat Tinggi Bumi I di Rio de Janeiro (Brazil) tahun 1992. Pada waktu itu
lebih dari 150 negara menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengantisipasi
perubahan Iklim di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan
menetapkan batas-batas pelepasan (emisi) gas-gas rumah kaca ke udara. Anggota
konvensi ini mengadakan pertemuan pertama di Berlin pada tahun 1995 yang
disebut dengan Pertemuan Antar Pihak I atau Conference of the Parties (COP1).
Sejak itu ada beberapa
pertemuan COP di beberapa negara. Salah satu pertemuan penting yaitu pertemuan
ketiga (COP3) diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997 yang
menghasilkan apa yang disebut Kyoto Protocol (Protokol Kyoto). Pertemuan ini
menjadi landasan bagi Pengembangan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean
Development Mechanism atau CDM), yang mengharuskan negara-negara maju
mengurangi pecemaran udara sebesar kurang lebih 5 persen pada tahun 2012 dibandingkan
dengan tahun 1990 (CIFOR, 2003).
Protokol Kyoto merupakan
salah satu keputusan yang dibuat dalam Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang
perubahan Iklim united nations framework convention on climate change
(UNFCCC) dalam pertemuan para pihak ke tiga (COP-3) yang diselenggarakan di
Kyoto, Desember 1997. Apabila protokol ini sudah diratifikasi, maka negara maju
secara hukum terikat dengan komitmen penurunan emisi GRK. Diperkirakan protokol
akan efektif dan operasional pada tahun 2002 ini di COP-7. Syarat bagi
efektivitas Protokol Kyoto ialah apabila protokol diratifikasi oleh paling
sedikit 55 negara maju yang jumlah emisinya mencapai 55% dari total emisi yang ditargetkan
(Boer, R, 2005).
Prinsip-prinsip dari Protokol Kyoto yaitu:
Protokol ini menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan
global yang dilindungi PBB. Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum:
a. Negara-negara Annex I.
Adalah Negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap
emisi gas
sejak revolusi industry, 150 tahun silam. Mereka mengemban
tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap
tahun. Negara Annex I ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa,
Amerika Utara, Australia. Jepang merupakan satu-satunya Negara Asia yang masuk
dalam kategori ini.
b. Negara-negara non Annex I.
Adalah Negara berkembang. Mereka tidak mempunyai kewajiban
menurunkanemisi gas rumah kaca, tapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Negara-negara Annex I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara
kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan pada tahun 1990.
c. Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca dihitung sebagai rata-rata
selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012. Target nasional berkisar dari
pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0%
untuk Rusia dan penambahan yang diijinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia.
d. Batas pengurangan tersebut akan berakhir pada tahun 2013, dan akan dibuat
target reduksi karbon yang baru. Jika pada tahun 2012 negara Annex I tidak
mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara
tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dalam Annex I.
e. Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara Annex
I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari
Negara lain. Pembelian dapat dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan
untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari Negara nonAnnex I melalui
mekanisme CDM.
f. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission
reductions (CERs) bagi sebuah proyek untuk dapat diperjualbelikan.
g. Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi
gas buang, tapi jika mengimplementasikan proyek gas rumah kaca yang dapat
menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang dapat dijual pada Negara
Annex I (Uliyah, L dan Cahyadi, F, 2007).
III. PEMBAHASAN
Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon adalah
mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pemilik
industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki kewajiban oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka
keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon). Pemilik
yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon
berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka.. Perdagangan karbon yang memiliki
makna yaitu melindungi karbon dan menjualnya kepada negara-negara emisi.
Negara-negara emisi
memberikan kompensasi dana untuk pembangunan bagi negara-negara yang telah mempertahankan
karbon mereka. Namun perlu juga dicermati apakah nilai tukar yang ditawarkan
oleh negara-negara emisi sudah pantas terhadap negara yang telah mempertahankan
karbon mereka. Dan pertanyaan mendasar bahwa mampukan program perdagangan karbon
ini mengurangi perubahan iklim global, sehingga terjadi keseimbangan antara
negara penghasil emisi dengan negara penghasil emisi.
Ada lima proyek yang
dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO2 ini yang diperkirakan akan
berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4 juta
USD, dengan asumsi 4 – 6 USD untuk setiap ton karbon. Sebagai wacana bahwa aktivitas
perdagangan karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (kalimantan),
kerjasama Gibon Indonesia dan BOS (Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation),
dimana terdapat areal hutan seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual
ke Jerman dengan harga USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton.
Kompensasi yang dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun.
Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan luasan hutan
Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa pendapatan yang dihasilkan
dari penjualan karbon ini (Razak, A, 2008)
Protokol Kyoto
Protocol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional
yang mengatur tatacara penggunaan emisi gas rumah kaca sehingga tidak
mengganggu sistem iklim bumi. Protokol Kyoto ini menargetkan penurunan emisi GRK paling
sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen 2008-2012. Negara-negara
maju haru mampu menurunkan emisi (Sada, R. 2007).
Karbon dioksida (CO2) terus meningkat
dengan campuran pencemar lama dan baru. Emisi CO2 di seluruh dunia
kini telah melampaui 24 milyar metrik ton, meningkat 16 persen dibandingkan
dengan tingkat tahun 1990 (Bank Dunia, 2006). Ekonomi berkembang pesat Cina dan
Amerika Serikat menunjukkan peningkatan yang cepat dalam emisi CO2.
Cina, yang telah menjadi pencemar terbesar kedua, telah meningkatkan emisi
sebesar 33 persen antara 1992 dan 2002, sedangkan emisi CO2 berasal
terutama dari negara-negara kaya, dengan Amerika Serikat menyumbang 24 persen
dari total emisi dan negara-negara Uni Moneter Eropa menyumbang 10 persen. Tapi
saham negara berkembang kontribusi terhadap emisi CO2 meningkat
pesat. Dari tahun 2000 sampai 2002, emisi CO2 global meningkat
sebesar 2,5 persen per tahun, dan sekitar dua pertiga dari kenaikan ini berasal
dari negara berpendapatan rendah (World Bank, 2006) .
Semua negara yang rentan terhadap perubahan
iklim," (Warren Evans, Direktur Lingkungan Hidup, Bank Dunia),
"tetapi negara-negara miskin yang paling terkena, dan memiliki sarana
minimal untuk beradaptasi. Perubahan iklim dapat menghambat upaya mengurangi
kemiskinan di negara-negara pertanian yang tergantung di Afrika dan dataran
rendah pantai. Inisiatif pengembangan pemeriksaan Iklim merupakan kebutuhan
mendesak untuk menghindari bencana manusia.
Emisi CO2 berasal terutama dari pembakaran bahan bakar
fosil *. Sektor energi bagi sekitar 80 persen emisi gas rumah kaca dan sektor
pertanian untuk sebagian besar 20 persen sisanya (Bersih Energi dan
Pembangunan: Menuju Kerangka Investasi, Bank Dunia, April 23, 2006). Penyusunan
protocol Kyoto ini dilandasi dengan semakin meningkatnya emisi karbon yang
dihasilkan oleh Negara-negara maju seperti America, Cina, dan India seperti
yang ada pada grafik dibawah ini.


Gambar 2. Data Emisi Karbon di Berbagai Negara Tahun 2002
Berdasarkan
grafik diatas maka Negara yang paling banyak menghasilkan emisi karbon yang
paling tinggi adalah Negara Amerika Serikat. Hal ini didasarkan karena pada
Negara amerika ini merupakan Negara industrii sehingga produksi karbon akan
terus meningkat. Selain itu hutan sebagai penangkap dan penyimapan karbon (CCS)
kurang tersedia akibat alih fungsi hutan menjadi industry. Untuk Negara penghasil emisi terbesar kedua
adalah Negara Cina. Hal tersebut berbanding lurus dengan kemajuan teknologi di
Negara Cina, dimana sector industry perdangangan Negara ini tergolong sebagai
Negara yang sangat besar sumbangsihnya terhadap pasar dunia. Maka adanya hal
tersebut emisi karbon yang dihasilkan sangat besar. Untuk Negara-nagara lain
juga mengalami peningkatan, namun tidak sesignifikan pertambahannya jika
dibandingkan dengan Negara Amerika Serikat dan Cina.

Gambar 3. Konsentrasi CO2 di
atmosfer yang direkonstruksi dari pengukuran langsung di atmosfer dan di dalam
contoh es di kutub (Hairiah, K dan Mudiarso, D. (2007) Sumber: IPCC, 2001
Pada gambar diatas untuk
membuktikan bahwa karbon yang meningkat jumlahnya adalah dengan melakukan studi
detail tentang inti karbon di laboratorium
dan pengamatan di stasiun-stasiun
dalam jangka yang sangat panjang yang dilakukan
oleh para ilmuwan. Dari studi ini
mereka menemukan bahwa pertama, karakteristik inti atom karbon yang berasal
dari pembakaran BBF (bahan bakar fosil) berbeda dengan inti karbon dari emisi
alam. Karena fosil telah terpendam di lapisan dalam sejak puluhan juta tahun
yang lalu maka sifat radioaktif inti karbon nya sudah hilang sementara karbon
alami yang berasal dari permukaan atau dekat permukaan bumi intinya memiliki
porsi radioaktif yang cukup besar.
Meningkatnya konsentrasi
karbon radioaktif rendah telah menyebabkan "pengenceran" kadar
radioaktif karbon atmosfer secara keseluruhan. Kedua, dari hasil rekaman yang
terdapat pada lingkar pohon (tree rings) ditunjukkan bahwa fraksi karbon
radioaktif makin mengecil dalam kurun waktu antara tahun 1850 hingga 1950.
Ketiga, pengamatan jangka panjang di puncak Gunung Mauna Loa di Hawaii yang
berada di tengah-tengah Samudera Pasifik dan di Kutub Selatan. Data konsentrasi
CO2 di atmosfer dan di dalam contoh es yang diambil dari dua tempat yang tidak
mengalami gangguan berupa lonjakan, GRK antropogenik tersebut direkonstruksi
dalam kurun waktu 1850 hingga 2000 menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 yang
cukup berarti dari 290 hingga 360 ppm.
Protokol Kyoto membuat terobosan baru dengan
mendefinisikan tiga "mekanisme fleksibilitas" inovatif untuk
menurunkan biaya keseluruhan mencapai target emisi. Mekanisme ini memungkinkan
Pihak untuk mengakses peluang biaya-efektif untuk mengurangi emisi, atau untuk
menghilangkan karbon dari atmosfir, di negara lain. Sedangkan biaya untuk
membatasi emisi bervariasi dari daerah ke daerah, efek untuk suasana membatasi
emisi adalah sama, terlepas dari di mana tindakan tersebut diambil.
Semua tiga mekanisme di bawah Protokol Kyoto
didasarkan pada sistem Protokol untuk akuntansi sasaran. Di bawah sistem ini,
jumlah yang suatu Lampiran I Partai (dengan komitmen tertulis dalam Lampiran B
Protokol Kyoto) harus mengurangi emisi selama periode komitmen lima tahun
(dikenal sebagai "jumlah yang ditetapkan" nya) dibagi menjadi unit
masing sebesar untuk satu ton ekuivalen karbon dioksida. Unit ini jumlah yang
ditetapkan (AAU) *, dan unit lainnya yang ditentukan oleh Protokol, kontribusi
dasar bagi mekanisme Kyoto dengan menyediakan untuk suatu Pihak untuk
mendapatkan kredit dari tindakan yang diambil pada Pihak lainnya yang mungkin
dihitung ke arah itu target emisi sendiri.
Dalam Prokol Kyoto tersusun atas tiga mekanisme dalam mengatasi pemanasan global yakni dengan
cara
1. Joint Implementation (JI),
Dalam mekanisme implementasi bersama ini
pengurangan emisi karbon didasarkan pada cara pngurangan karbon daerah
tersebut. Dalam mekanisme ini digunakan untuk Negara-negara yang maju saja.
2. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism,
CDM)
CDM adalah salah satu mekanisme Kyoto yang memungkinkan
Negara maju melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target
penurunan emisinya. Sementara itu negara berkembang berkepentingan dalam
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, dan tujuan utama Konvensi yaitu
menstabilkan emisi GRK sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Melalui
investasi proyek CDM negara maju akan memperoleh kredit penurunanemisi dalam
bentuk sertifikat penurunan emisi (Certified Emission Reduction, CER) yang akan
diterbitkan oleh Badan Pelaksana CDM pada tingkat global setelah diverifikasi
oleh entitas operasional yang ditunjuk.
Negara-negara berkembang akan memperoleh tambahan dana
(financial additionality) dari investor untuk mengimplementasikan proyek yang
mengurangi emisi GRK. Disamping itu pihak tuan rumah juga dapat menilai
seberapa jauh tujuan pembangunan berkelanjutannya telah dicapai berdasarkan
kriteria dan indicator yang telah disepakati bersama investor. Dengan
mengadopsi criteria internasional, otoritas nasional perlu menilai dampak
proyek CDM terhadapaspek-aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Kriterianya
adalah agenda tuan rumah yang harus disusun oleh otoritas nasional melalui
proses konsultasi public yang luas.
3. Perdagangan emisi
(Emission Trading, ET) yang mengatur partisipasi negara berkembang.
Perdagangan Emisi 'adalah
salah satu mekanisme fleksibilitas diperbolehkan di bawah Protokol Kyoto yang
memungkinkan negara untuk memenuhi target pengurangan emisi mereka. Negara /
perusahaan dengan tingginya biaya pengurangan emisi internal akan diharapkan
untuk membeli sertifikat dari negara / perusahaan dengan biaya rendah
pengurangan emisi internal. Entitas yang terakhir juga akan diharapkan untuk
memaksimalkan produksi pengurangan emisi biaya rendah sehingga dapat
memaksimalkan kemampuan mereka untuk menjual sertifikat kepada badan usaha
biaya tinggi. Hasil keseluruhan adalah bahwa target pengurangan emisi
terpenuhi, tetapi dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada yang dikeluarkan
dengan mengharuskan setiap entitas untuk mencapai target pengurangan emisi
mereka sendiri.
Secara sederhana, perdagangan karbon adalah suatu mekanisme
perdagangan dimana negara yang menghasilkan emisi karbon dari kuota yang
ditentukan diharuskan untuk memberikan sejumlah insentif kepada negara yang
bisa menyerap karbon melalui proyek penanaman hutannya. Setiap negara/industri
mempunyai kuota karbon yang ‘boleh’ diemisikannya. Mekanisme ini juga
memperbolehkan industri yang berhasil mengurangi emisinya untuk menjual kredit
karbon yang tersisa ke industri lain. Di sini, penyerapan/pengurangan gas
karbon menjadi semacam jasa yang bisa diperjualbelikan.
Negara atau industri yang menggunakan bahan bakar
minyak secara berlebihan menyebabkan kapasitas pohon yang bisa menyerap karbon sangat
terbatas baik di negaranya sendiri maupun di negara lain. Karena karbon dari
satu negara bisa menyebar ke negara lain maka akibatnya dirasakan di negara
lain juga. Orang, industri atau negara yang menghasilkan emisi karbon yang jauh
lebih tinggi daripada jatah penyerapan di negaranya sendiri disebut debitur
karbon yang berutang karbon kepada kreditur karbon, yaitu negara miskin yang mempunyai
lebih banyak hutan atau pohon namun lebih sedikit memanfaatkan jatah penyerapan
karbon karena
industri atau penggunaan bahan bakar minyak lebih
sedikit.
Perdagangan karbon selain memerlukan kesepakatan
internasional juga memerlukan adanya persetujuan dan partisipasi berbagai pihak
dari pemerintah pusat suatu negara sampai kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Suatu lembaga yang memerlukan kredit untuk membiaya proyek penanaman pohon
untuk penyerapan karbon harus mendapat persetujuan dan kerjasama dengan masyarakat.
Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi salah satu prasyarat dalam kegiatan
ini.
Masih
banyak negara yang maju tidak sepakat akan diadakankanya perdagangan karbon
melalui perjanjian kyoto. Mereka melakukan Mekanisme perdagangan karbon melalui
jalur non Kyoto.
Tanpa kredit
emisi (Non-Kyoto)
Sebagai negara yang memiliki lahan hutan yang sangat
luas dan sebagian besar mengalami kerusakan yang parah, Indonesia perlu
berupaya secara kreatif agar lahan-lahan tersebut dapat direhabilitasi dan
dikembalikan fungsinya. Untuk tujuan pembangunan berkelanjutan kebijakan
tersebut sangat tepat karena akan memperkokoh pilar-pilar ekonomi, ekologi dan
sosial. Tetapi berdasarkan ketentuan yang ada dan berlaku sekarang, jelas bahwa
mekanisme Kyoto tidak mungkin dimanfaatkan. Pembeli di pasar tidak selamanya
hanya tertarik pada kredit karbon yang mengikuti mekanisme
(Kyoto Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007).
Pasar non-Kyoto banyak terdapat di negara maju berupa
dana perorangan, yayasan, dan utilitas publik sering diinvestasikan kembali
untuk membangun citra publik (public image) lembaga-lembaga tersebut melalui kegiatan-kegiatan konservasi alam. Dana semacam ini biasanya sudah
dibebaskan dari pajak sehingga nilai nominalnya makin besar. Lembaga keuangan
seperti Bank Dunia pun berupaya mencari investor yang tertarik melakukan
kegiatan konservasi di negara berkembang. Sebagian dari porsi biocarbon Fund
(BCF) bahkan akan dirancang untuk proyek-proyek yang memiliki potensi menyerap
karbon sambil melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan mencegah
degradasi lahan. Kegiatan yang lebih sarat dengan muatan ekologis tersebut
meliputi:
Rehabilitasi
dan pengelolaan hutan
Banyaknya hutan yang mengalami degradasi memerlukan
rehabilitasi dan pengelolaan yang meningkatkan fungsi rosot karbon, fungsi
hidrologis dan fungsi ekologis hutan. Peningkatan cadangan tetap akan dapat
dipertahankan jika disertai sistem pengelolaan yang baik. Melalui kegiatan ini
konservasi keanekaragaman hayati dan konservasi lahan dapat langsung
diintegrasikan.
Pencegahan
deforestasi
Kegiatan ini samasekali ditolak untuk
diimplementasikan melalui CDM dengan alasan justru akan mempercepat deforestasi
demi perolehan karbon yang besar. Konservasi hutan lindung, cagar alam dan
taman nasional dapat menghasilkan dan mempertahankan cadangan tetap yang tinggi
dalam jangka yang panjang. Konservasi terhadap keanekaragaman hayati pada
kegiatan ini juga sangat signifikan.
Revegetasi
Dapat dilakukan pada lahan kritis dan tidak produktif
yang diinvasi alangalang sehingga dapat memberikan perolehan karbon dengan
cadangan tetap yang tinggi. Aspek pencegahan degradasi lahan pun terlihat akan
sangat signifikan jika kegiatan ini diimplementasikan, karena kegiatan
revegetasi akan memperbaiki keseimbangan hara tanah dan produktivitas lahan.
Lahan semacam ini meliputi areal yang luasnya puluhan juta hektar.
Menekankan
adaptasi
Implikasi dari pembatasan jenis kegiatan CDM pada
aforestasi dan reforestasi adalah bahwa kegiatan konservasi dan rehabilitasi
hutan tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan mitigasi yang absah di bawah
prosedur CDM. Kegiatan konservasi dan rehabilitasi dapat dikategorikan sebagai
kegiatan yang berhubungan dengan perubahan iklim dengan mekanisme yang tidak
diatur oleh Protokol Kyoto atau CDM, tetapi oleh Konvensi Perubahan Iklim. Dana
yang dikelola Global Environmental Facilities (GEF) seperti dana adaptasi dan
Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund) harus diakses untuk
kepentingan ini (Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil data yang telah didapatkan, maka dapat disimulkan bahwa :
1.
Emisi gas rumah kaca (GRK) di bumi mengalami peningkatan
sangat signifikan,
2.
Tingginya emisi gas
rumah kaca mendasari terbentuknya perjanjian internasional (Protokol Kyoto).
3.
Penerapan Mekanisme Protokol Kyoto dapat menyeimbangkan
sistem perdagangan karbon antara Negara Pengikat karbon denga Negara penghasil
emisi.
DAFTAR PUSTAKA
Boer, R. 2005. Penamatan
karbon Pada Berbagai Bentuk Sistem Usaha Tani Sebagai Salaha Satu Bentuk
Multifungsi. Jurnal Penalitian. Jurusan Geofisika dan
Meteorologi. FMIPA IPB. Bogor.
CIFOR, 2003. Warta
Kebijakan CIFOR (Center For international Forestry Research). Desa Long
Loreh, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Kalimantan.
Gumay, D. 2007. Perdagangan Carbon, Mitos Negara Maju.
http://www.dewagumay.blogspot.com.
Diposakan pada 5 Oktober 2007.
Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007. Bahan
Ajar Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon
Terestrial. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. © copyright World Agroforestry Centre (ICRAF)
Southeast Asia.
IETA, 2005. State and Trends of Carbon market, Washington
DC.
Razak, A. Kelayakan Kompensasi Yang
Ditawarkan Dalam Perdagangan Karbon. Makalah Manajemen Hutan Lanjutan (KTMK
612). Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manajemen Konservasi
Sumber Daya Aalam dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sada, R. 2007. CarbonTrading.
Dolphin (P.G) Institute of Bio-Medical and Natural Sciences, Dehradun H.N.B.
Garhwal University. India.
Uliyah, L dan Cahyadi, F,. 2011. Question and Answer
tentang Keadilan Iklim
Edisi I Tahun 2011. Knowledge Management Yayasan Satudunia. Yayasan
Satudunia One World Indonesia.
.
World Bank, 2006. China and India show rapid increase in global warming emissions. (www.mongabay.com)
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
ReplyDeletehingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
profit,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009