Friday, October 19, 2012

LKTI Kajian Tata Guna Lahan Sub DAS Kali Putih Jember





KAJIAN TATA GUNA LAHAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENINGKATAN EKONOMIMASYARAKAT DI KAWASAN SUB DAS KALI
PUTIH KABUPATEN JEMBER



Karya Tulis Ilmiah



Di Susun Oleh :
Fahmi Arief Rahman                        (081510501066)
Lazuardi Cahya Abadi          (081510501014)
Andika Septa S B H             (081510501139)




PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI MINAT ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011







ABSTRAK

Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di kabupaten Jember pada awal tahun 2006 melanda 7 kecamatan dengan daerah yang paling parah terkena banjir adalah Kecamatan Panti terutama disekitar sub DAS Kali Putih. Peristiwa banjir bandang yang terjadi di kecamatan Panti kabupaten Jember tersebut diprediksi akibat dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro yang terletak di bagian utara Jember. Berangkat dari fenomena tersebut maka dilakukan survei untuk melihat tata guna lahan di sekitar kawasan sub DAS Kali Putih di kecamatan Panti Kabupaten Jember pasca bencana banjir tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa tata guna lahan di beberapa titik kelerengan yang cukup curang sampai sangat curang tidak sesuai. Dan juga perambahan di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi oleh perkebunan. Hal-hal tersebut yang mengakibatkankan longsor dan banjir bandang di sekitar kawasan sub DAS Kali Putih Kecamatan Panti Kabupaten Jember pada 1 Jnuari 2006.







BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kabupaten Jember adalah sebuah kawasan yang terletak pada bagian timur wilayah Propinsi Jawa Timur. Berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Probolinggo di sebelah utara, Kabupaten Lumajang di sebelah barat, Kabupaten Banyuwangi disebelah timur, dan dengan Samudera Indonesia di sebelah selatan. Luas wilayah Kabupaten Jember adalah 3.293,34 km2 (atau sebesar 7% dari 46.428,57 km2 luas wilayah Propinsi Jawa Timur) dengan karakter topografi berbukit hingga pegunungan di sisi utara dan timur serta merupakan dataran subur yang luas ke arah selatan.
Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, Kabupaten Jember termasuk dalam kategori daerah rawan bencana di Propinsi Jawa Timur seperti tampak pada peta daerah rawan bencana berikut ini:

Secara garis besar wilayah Kabupaten Jember dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Termasuk ke dalam kedua kawasan tersebut adalah kawasan rawan bencana yang berupa tanah longsor yang terdapat di berbagai kecamatan. Tanah longsor tersebut berada di daerah-daerah yang memiliki tingkat erosi tinggi, kawasan pantai, dan tanah-tanah gundul di kawasan hutang lindung (Widodo, 2011).
Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di kabupaten Jember pada awal tahun 2006 salah satu penyebabnya adalah curah hujan sangat tinggi selama tiga hari berturut-turut. Curah hujan dengan intensitas tinggi di stasiun hujan Klatakan tercatat 178 mm/hr pada Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih. Gejala banjir banding sudah dimulai hari Minggu 1 Januari 2006 sekitar jam 17.00 WIB dengan puncak banjir bandang terjadi jam 22.00 WIB. Bencana ini melanda 7 kecamatan dengan daerah yang paling parah terkena banjir adalah Kecamatan Panti. Kawasan yang terkena bencana meliputi Desa Kemiri, Desa Suci dan Desa Serut. Desa Kemiri (Sub DAS Kali Putih) dan Suci merupakan areal terparah yang terlanda banjir sementara Desa Serut hanya sebagian kecil namun desa ini merupakan tempat mengungsi masyarakat dari Desa Suci dan Kemiri (Naryanto et al., 2006)
Dari data BPS Kabupaten Jember bencana banjir bandang yang terjadi 1 Januari 2006 mengakibatkan 76 orang meninggal dunia (sumber yang lain menyebutkan 119 orang meninggal dunia), 15 orang hilang, 1.900 orang mengungsi. Banjir bandang ini juga menyebabkan 36 rumah hanyut, 2.400 rumah rusak, 6 jembatan putus, 370 hektare lahan pertanian rusak tertimbun lumpur, 11 bendungan rusak, ratusan tanggul jebol, 20 km saluran irigasi rusak, dengan kerugian yang ditaksir Satlak PBP Kab. Jember sekitar Rp. 59,005 milyar (Priyantari et al., 2009).
Peristiwa banjir bandang yang terjadi di kawasan Sub DAS Kali Putih kecamatan Panti kabupaten Jember tersebut diprediksi akibat dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro yang terletak di bagian utara Jember. Hutan sebagai pelindung banyak yang ditebang sehingga gundul. Hal ini dapat dilihat dari longsoran tanah bercampur air hujan menerjang dan yang membawa balok-balok kayu. Balok-balok kayu terbawa banjir dominan dari Pohon Jati, Pinus, Mahoni yang merupakan ciri dari hasil hutan produksi. Peristiwa ini merupakan kesalahan dari penataan ruang wilayah di Jawa Timur. Pegunungan Argopuro sebagai kawasan lindung yang merupakan daerah resapan air, beralih menjadi perkebunan kakao dan kopi, serta hutan produksi kemudian terjadi penebangan yang berakibat penggundulan (Putra, 2008).

1.1.1 Deskripsi Daerah Bencana Banjir Bandang
v  Kondisi Geografi
Bagian selatan wilayah Kabupaten Jember adalah dataran rendah. Bagian barat laut berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo adalah pegunungan yang merupakan bagian dari Pegunungan Iyang, dengan puncaknya adalah Gunung Argopuro yang memiliki ketingian 3.088 m dari permukan laut. Bagian timur merupakan bagian dari rangkaian Dataran Tinggi Ijen. Kecamatan Panti mempunyai luas wilayah 160,71 km2 dengan ketinggian rata-rata 71 m dari atas permukaan laut. Kecamatan Panti terdiri dari 7 desa yaitu Kemuningsari Lor, Glagahwero, Serut, Panti, Pakis, Suci dan Kemiri. Batas Kecamatan Panti yaitu sebelah Utara Kecamatan Bondowoso, sebelah Timur Kecamatan Sukorambi, sebelah selatan Kecamatan Rambipuji dan sebelah barat Kecamatan Bangsalsari. Jumlah penduduk Kecamatan Panti pada tahun 2005 sebanyak 56.419 jiwa terdiri dari 27.599 jiwa laki-laki dan 28.820 jiwa perempuan.
v  Kondisi Geologi
Secara morfologi, Kecamatan Panti merupakan daerah perbukitan sebelah selatan-tenggara G. Argopuro dengan ketinggian melandai dari 50 sampai 500 m di atas permukaan laut, dengan tatanan stratigrafi Breksi Argopuro (Qvab) dan Endapan Kipas Argopuro (Qaf) (Sapei, et al., 1992). Breksi Argopuro merupakan breksi gunung api bersusunan andesit dan bersisipan lava. Breksi andesit berwarna abu-abu dengan masadasar tuf. Sisipan lava terdapat setempat, bersusunan andesit. Satuan ini merupakan hasil kegiatan G. Argopuro yang terakhir. Batuannya sudah sangat lapuk sehingga membentuk laterit yang cukup tebal berwarna merah bata. Endapan Kipas Argopuro (Qaf) merupakan endapan kipas hasil rombakan dari batuan gunungapi Argopuro. Komponen berukuran bongkah, kerakal dan kerikil (Priyantari et al., 2009)
v  Kondisi Vegetasi
Keadaan vegetasi penutup lahan merupakan faktor penting dan dominan dalam rangka menekan laju erosi, banjir dan longsor selain faktor-faktor yang lainnya seperti curah hujan, penggunaan lahan, karakteristik wilayah (morfologi, baik kelerengan dan bentuk lanskap) dan keadaan drainase. Semakin tinggi kerapatan suatu vegetasi pada suatu lahan maka lahan tersebut semakin terjaga dari erosi, banjir dan longsor.
Alam sebenarnya telah memberikan pelajaran dan contoh yang mestinya menjadi rujukan bagi terbentuknya keseimbangan lingkungan. Salah satu dari sekian banyak contoh adalah peranan vegetasi dalam mengatur kran keseimbangan air sepanjang tahun. Penutupan vegetasi alam memainkan peranan penting dalam mengatur perilaku sistem drainase air. Terutama efek spon yang menyekap air hujan dan air itu ditahan oleh hutan dan padang rumput sehingga mengalir keluar lebih lambat dan merata ke dalam sistem sungai, mengurangi kecenderungan banjir pada periode musim hujan dan melepaskan air terus menerus selama periode musim kemarau. Fungsi ini akan hilang apabila vegetasi kawasan tangkapan air di dataran tinggi menjadi rusak.
v  Tata ruang
Kawasan ini bila diidentifikasi dari puncak sampai dengan lembah secara berurutan terdiri dari :
1)      Kawasan puncak mempunyai ketinggian 1.900 m - 3.088 mdpl, merupakan kawasan hutan suaka margasatwa dengan berbagai jenis pohon dan tanaman endemik, dengan kelerengan sebagian besar di atas 45o;
2)      Kawasan hutan lindung dengan kelerengan sebagian besar di atas 45o dan hutan produksi yang sebagian kawasan mempunyai kelerengan di atas 45o;
3)      Kawasan perkebunan besar swasta dengan tanaman kopi, kakao dan karet;
4)      Kawasan pertanian, perkebunan rakyat dan permukiman.
Kawasan pegunungan Argopuro terdiri dari Hutan Suaka Margasatwa seluas 14.177 Ha yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jatim II, Hutan Lindung seluas 47.215,7 Ha dan Hutan Produksi seluas 28.794,9 Ha yang dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Sedangkan yang berada di lereng Pegunungan Argopuro termasuk bagian hutan lereng Hyang Selatan terdiri dari hutan produksi seluas 8.368,1 Ha dan hutan lindung seluas 20.392,1 Ha.
Kondisi Suaka Marga Satwa yang dikelola BKSDA yang termasuk dalam wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih menunjukkan terdapat longsoran seluas ± 5 Ha dan ± 100 batang pohon yang tumbang akibat terjangan angin masuk ke Danau Merah.
Kondisi Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang dikelola Perum Perhutani di wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih menunjukkan terjadi pengurangan tegakan akibat kematian alami dan terindikasi adanya penebangan kayu liar pada tahun 1997/1998. Kawasan tersebut yang berhimpit dengan Perkebunan Besar Swasta dengan kelerengan lebih dari 45% dirambah dan ditanami kopi seluas 46 Ha, yang seharusnya dilarang dan dipertahankan tetap menjadi hutan lindung. Kondisi ini merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor pada saat curah hujan tinggi.
Di wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih terdapat dua Perkebunan besar swasta, yaitu Perkebunan Keputren yang dikelola oleh PT. JA Wattie/Bina Surya Group dan Perkebunan Kali Klepuh/Gunung Pasang yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kabupaten Jember. Kawasan Perkebunan tersebut mengalami bencana terparah pada kejadian banjir bandang. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tata guna lahan pada kawasan perkebunan kurang melindungi tanah terhadap curah hujan yang tinggi sehingga menjadi salah satu pemicu terjadinya tanah longsor ke Sungai Dinoyo dan Kali Putih.

1.1.2 Faktor-faktor penyebab longsor dan banjir bandang di kawasan sub DAS Kali Putih
Naryanto et al. (2007), menyatakan bahwa terjadinya gerakan tanah (longsor) dan banjir bandang di Kabupaten disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1)      Faktor Geologi
a)      Daerah bencana (di bagian hulu) memiliki kelerengan yang agak curam sampai dengan sangat curam (8-55°/15–40%), sedangkan di bagian hilir (kawasan perladangan, pertanian dan permukiman) kelerengannya agak miring sampai dengan miring (2-8°/ 2–15 %). Dengan demikian daerah hulu merupakan daerah yang rentan longsor.
b)      Daerah bencana tersusun oleh batuan vulkanik tua yang tingkat konsolidasinya relatif rendah, di bagian hulu ketebalan tanah pelapukannya mencapai lebih dari 10 m.
c)      Lapisan tanah pelapukan mudah jenuh air jika terkena hujan, menjadi plastis/ lembek, yang akhirnya mudah longsor.
d)     Pada lereng curam-sangat curam, masih dijumpai areal perkebunan dengan jenis tanaman kopi dan kakao (perakaran pendek).
2)      Faktor Peruntukan Lahan, yaitu adanya ketidaksesuaian pemanfatan lahan baik di kawasan lindung, meliputi hutan lindung, areal cadangan hutan perkebunan dan lahan milik masyarakat yang mempunyai kelerengan di atas 40%, maupun kawasan budidaya meliputi areal perkebunan, hutan produksi dan lahan milik masyarakat;
3)      Faktor iklim, curah hujan pada tanggal 31 Desember 2005 yang di atas normal, yaitu 178 mm/hari dari curah hujan normal 32 mm/hari, mengakibatkan infiltrasi air hujan ke dalam lereng relatif besar. Dengan kondisi tersebut, lereng menjadi kritis, sehingga terjadi gerakan tanah/longsor. Longsoran-longsoran tersebut meluncur ke bawah dan berhenti di dasar lembah yang sempit, dimana pada dasar lembah tersebut terdapat alur sungai. Oleh karena itu, alur sungai terbendung oleh material longsoran, sehingga terjadi akumulasi air dalam jumlah besar. Pembendungan tersebut suatu saat tidak mampu lagi menahan tekanan air dan jebol, maka terjadilah banjir bandang.
4)      Faktor Hidrologi, yaitu curah hujan pada saat terjadinya bencana termasuk kategori tinggi (di atas normal), sehingga mengakibatkan terjadinya limpasan di atas tanggul (daya tampung sungai tidak mampu, mengakibatkan terjadinya luapan air), sehingga berdampak pada kerusakan sarana dan prasarana sungai. Disamping itu, limpasan di atas tanggul tersebut juga mengakibatkan erosi pada dasar dan tebing sungai.
5)      Faktor Sosial, yaitu masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan sesuai kaidah konservasi tanah, pemahaman pemanfaatan kawasan lindung pada sempadan sungai serta pelestarian lingkungan hidup.

1.2  Tujuan Dan Manfaat
1.2.1        Tujuan
Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengkaji tata guna lahan di kawasan sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember.

1.2.2        Manfaat
Dapat di jadikan sebagai suatu rekomendasi tata guna lahan di kawasan sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember.



BAB 2. METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat
            Penelitian Karya Tulis Ilmiah ini dilaksanakan di kawasan Sub DAS Kali  Putih Kabupaten Jember pada tanggal 03 Oktober 2011.

2.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya alat tulis, kamera, peta geologi dan peta topografi, dan laporan  lainnya yang berhubungan dengan daerah pengamatan, serta alat penunjang lainnya.

2.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan survei lapang. Metode survei lapang dilakukan dengan beberapa tahapan kegiatan, diantaranya pengumpulan data skunder, pengamatan di sepanjang sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember, dan melakukan analisis data.

2.3.1 Pengumpulan data Skunder
            Pengumpulan data skunder berasal dari data – data penelitian yang sebelumnya telah dilakukan yang terkait tentang penelitian baik berupa laporan maupun peta.  Data ini diantaranya laporan hasil penelitian tanah dan geologi, serta peta rupa bumi skala 1 : 25.000. data ini nantinya dapat digunakan untuk mendapat informasi awal mengenai kondisi daerah penelitian, seperti jenis tanah, kondisi geologi atau bahan induk dan ketinggian tempat.

2.3.2 Pengamatan  di sepanjang sub DAS Kali Putih
            Dari data – data skunder yang didapatkan lalu dilakukan pengamatan di daerah penelitian yakni di kawasan Sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember. Pengamatan dilakukan secara langsung terutama pengamatan secara fisik daerah sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember dan pengamatan disesuikan dengan kebutuhan data yang ingin diperoleh. Pengamatan yang dilakukan dengan melihat kondisi secara langsung di lapang pada daerah lereng serta bentuk lahan dan bagaimana pengelolaan dan pengunaanya, kemudian hasil pengamatan diabadikan dengan mengambil gambar daerah yang dimati menggunakan kamera.

2.3.3 Analisis Data
            Data–data hasil dari data skunder dan pengamatan lapang kemudian dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengelolaan dan keadaan terkini daerah yang diteliti yakni Sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya penggunaan  lahan dan penataan lahan yang diteliti sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisir dan mencegah terjadinya bencana yang pernah melanda di kawasan Sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember, serta mensejahterakan tingkat ekonomi masyarakat yang tinggal disekitar kawasan Sub DAS Kali Putih Kabupaten Jember yang diteliti.







BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
v  Kawasan pegunungan Argopuro terdiri dari Hutan Suaka Margasatwa seluas 14.177 Ha yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jatim II, Hutan Lindung seluas 47.215,7 Ha dan Hutan Produksi seluas 28.794,9 Ha yang dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
v  Sedangkan yang berada di lereng Pegunungan Argopuro termasuk bagian hutan lereng Hyang Selatan terdiri dari hutan produksi seluas 8.368,1 Ha dan hutan lindung seluas 20.392,1 Ha.
v  Daerah bencana (di bagian hulu) memiliki kelerengan yang agak curam sampai dengan sangat curam (8-55°/15–45%), sedangkan di bagian hilir kelerengannya agak miring sampai dengan miring (2-8°/ 2–15 % ).
v  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember Belum Sepenuhnya Dijadikan Sebagai Pedoman/Acuan dalam Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang




















v  Topografi kecamatan Panti dalam peta citra ketinggian 3 dimensi













v  Keadaan topografi dan sebaran pemukiman

















v  Sub DAS Kali Putih terletak di bawah lembah antar berbagai perbukitan


 













v  Kawasan pemukiman didasar lebah berdekatan dengan sub DAS Kali Putih



 














v  Pada lereng curam-sangat curam, masih dijumpai areal perkebunan dengan jenis tanaman kopi (perakaran pendek).
















v  Lereng curam terlihat tidak ada pohon berakar dalam sebagai penahan erosi





















3.2 Pembahasan
Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tata guna lahan pada kawasan sub DAS Kali Putih terdiri dari kawasan hutan lindung dengan kelerengan sebagian besar di atas 45o, hutan produksi yang sebagian kawasan mempunyai kelerengan di atas 45o, kawasan perkebunan besar swasta (kelerengan bervariasi, dari mulai tidak curam, curam sampai sangat curam) dengan tanaman kopi, kakao dan karet, perkebunan rakyat, kawasan pertanian serta pemukiman.
Untuk tata guna lahan di beberapa titik di kawasan sub DAS Kali Putih terlihat kurang melindungi tanah terhadap curah hujan yang tinggi sehingga menjadi salah satu pemicu terjadinya tanah longsor ke Sungai Dinoyo dan Kali Putih.
Menurut beberapa sumber tata guna lahan untuk sebagian besar kawasan sub DAS Kali Puih merupakan kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi, sedangkan sisanya meruapakan kawasan perkebunan. Kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani di wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih menunjukkan terjadi pengurangan tegakan akibat kematian alami dan terindikasi adanya penebangan kayu liar pada tahun 1997/1998. Kawasan tersebut yang berhimpit dengan Perkebunan Besar Swasta dengan kelerengan lebih dari 45% dirambah dan ditanami kopi seluas 46 Ha, yang seharusnya dilarang dan dipertahankan tetap menjadi hutan lindung. Kondisi ini merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor pada saat curah hujan tinggi.
Menurut data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember banyak sekali di temukan penyimpangan. Data tersebut menunjukkan banyak banyak alih fungsi lahan yang seharusnya tidak terjadi, seperti rencana lahan yang seharunya di gunakan sebagai kawasan perkebunan seluas 255,30  km2 menjadi lebih luas 265,14 km2. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dalam hal tata guna lahan, penambahan areal perkebunan tersebut berasal dari konversi lahan hutan lindung yang seharusnya keutuhan arealnya di jaga guna menjaga keseimbangan alam.
Kawasan sub DAS Kali Putih yang memiliki kemiringan ≥ 40% merupakan daerah yang harus diperhatikan dan dijaga kondisi lahannya karena kemungkinan pengaruh terjadinya erosi berada pada kemiringan yang semakin curam. Semakin curam suatu daerah, maka daerah tersebut berada pada tingkat pengaruh bahaya erosi yang paling besar. Dengan demikian, potensi terjadinya erosi di daerah tersebut adalah lebih besar. Untuk lahan dengan kemiringan lereng > harus di jadikan sebagai kawasan hutan lindung atau dengan kata lain tidak boleh di gunakan sebagai kawasan perkebunan. Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan dilapang yang ada sekarang. Menurut Kartasapoetra et.al, (1991) Kelerengan lahan merupakan faktor yang sangat penting. Lahan yang curam lebih mudah terganggu dan mengalami kerusakan tanah terutama oleh faktor erosi.
Disamping kemiringan lereng yang cukup curam, tingginya curah hujan mempunyai peran penting dalam terjadinya longsor yang terjadi di kawasan sub DAS Kali Putih. Dengan curah hujan 178 mm/hari dari curah hujan normal 32 mm/hari, mengakibatkan infiltrasi air hujan ke dalam lereng relatif besar. Dengan kondisi tersebut, lereng menjadi kritis, sehingga terjadi gerakan tanah/longsor. Longsoran-longsoran tersebut meluncur ke bawah dan berhenti di dasar lembah yang sempit, dimana pada dasar lembah tersebut terdapat alur sungai. Oleh karena itu, alur sungai terbendung oleh material longsoran, sehingga terjadi akumulasi air dalam jumlah besar. Pembendungan tersebut suatu saat tidak mampu lagi menahan tekanan air dan jebol, maka terjadilah banjir bandang.
Vegetasi di kawasan sub DAS Kali Putih yang memeiliki perakaran pendek (tanaman perkebunan) tidak dapat menahan erosi, sehingga pada kawasan tersebut mudah terjadi longsor. Sistem perakaran dari tanaman dapat menambah kohesi yang akan menghambat terjadinya longsor. Vegetasi akan memodifikasi kandungan air dalam tanah dengan menurunkan muka air tanah akibat adanya evapotranspirasi, sehingga dapat menunda tingkat kejenuhan air tanah. Dengan demikian akan menambah kemantapan lereng. Fungsi lain dari vegetasi adalah pada penambahan beban lereng, menambah tekanan geser, gaya mendorong atau gaya menahan, sehingga lereng tidak mudah longsor. Beban tanaman atau vegetasi tersebut akan menambah kemantapan lereng pada sudut lereng sekitar 34° atau kurang, sedang untuk sudut yang lebih besar maka beban tanaman akan dapat mengganggu kestabilan lereng. (Sudarsono 2003).
 Menurut BPK-RI (2006), penyebab lain yang mengakibatkan terjadinya banjir dan longsor menurut data yang ada adalah peran instansi pengendali dampak lingkungan, yaitu Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jember (DKLH) belum berjalan secara optimal. Hal ini terjadi karena kendala-kendala sebagai berikut :
  1. Secara kelembagaan, semestinya untuk menjalankan peran pengendalian dampak lingkungan di Kabupaten Jember yang memiliki kawasan perkebunan dan kehutanan yang cukup luas diperlukan satu institusi yang kuat setingkat dinas atau badan.
  2. Sumber Daya Manusia yang dimiliki masih sangat terbatas, dengan jumlah pegawai sebanyak 9 orang dengan komposisi 1 Kepala Bidang, 2 Kepala seksi, dan 4 orang staf/tenaga teknis, 2 orang tenaga rolstat.
  3. Peralatan pengujian yang dimiliki untuk menunjang pelaksanaan tupoksi belum memenuhi standard minimal yang dipersyaratkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  4. Sebagian besar DAS dikelola oleh PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) bukan PERHUTANI, hal ini mengakibatkan pengalihan fungsi lahan yang seharusnya sebagai hutan lindung dijadikan perkebunan.
Berdasarkan Perda Kabupaten Jember Nomor 026 Tahun 2003 tanggal 23 Desember 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (5) disebutkan antara lain Dishutbun mempunyai fungsi untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian teknis di bidang Kehutanan dan Perkebunan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Bupati serta melaksanakan bimbingan teknis di bidang Kehutanan dan Perkebunan.
Dari pengelolaan kawasan hutan dengan memperhatikan luas wilayah daerah kerja Dishutbun tersebut, ternyata hanya Hutan Rakyat yang selama ini dapat terjangkau kegiatan pembinaan dan pengawasan sesuai realisasi program penanganan daerah-daerah kritis berupa paket bimbingan teknis dan penyuluhan dibidang kehutanan. Padahal daerah kritis di kawasan hutan dan perkebunan yang telah diinventarisir oleh Dishutbun Kabupaten Jember pada tahun 2004 seluas 90.146,44 ha tersebar di 31 kecamatan dan terletak di 8 Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana luas wilayah tersebut termasuk area yang dimiliki dan dikelola institusi Pemerintah lain dan pemegang HGU/Perkebunan.
Permasalahan tersebut disebabkan adanya keengganan dari pihak Dishutbun untuk menegur institusi lain di luar Pemda Kabupaten Jember. Hal tersebut mengakibatkan semua kawasan hutan yang dikelola institusi di luar Pemda Kabupaten Jember dan kawasan HGU/Perkebunan tidak pernah mendapat surat peringatan dari Dishutbun untuk mengelola lingkungan hutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah dan Daerah terkait tata guna lahan di beberapa titik yang ada di kawasan sub DAS Kali Putih yang sebenarnya melarang kawasan dengan kemiringan lereng > 40% untuk di gunakan sebagai areal perkebunan merupakan dasar terjadinya bencana longsor dan banjir bandang. Namun adanya perkebunan juga berdampak positif khususnya bagi masyarakat yang tinggal disekitar kawasan sub DAS Kali Putih.
Dampak positif keberadaan perkebunan antara lain : terciptanya lapangan kerja, kesempatan berusaha, ekonomi, peningkatan pendapatan penduduk di sekitar kebun dan pabrik pengolahan. Disamping dampak positif di atas, kegiatan perusahaan masih menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan oleh belum sempurnanya Unit Pengolahan Limbah (UPL) yang telah ada.
Kontribusi PDP Kebupaten Jember kepada PAD Pemerintah Kabupaten Jember dari Tahun 2001 sampai dengan Tahun 2005, adalah sebagai berikut:










Konsep Pengelolaan DAS Kali Putih
Adanya keterkaitan antara daerah hulu, tengah dan hilir pada DAS, maka konsep perencaan dan pengelolaan daerah aliran sungai hendaklah berpedoman pada satu sungai satu perencanaan dan satu pengelolaan. Hendaknya masing masing daerah dalam satu kawasan DAS tidaklah mementingkan kepentingan sendiri, namun harus memikirkan kepentingan bersama agar kelangsungan fungsi DAS secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu, perencaan dan pengelolaan suatu kawasan hendaknya berbasis  pada DAS.
Pengelolaan daerah hulu misalnya, mengingat baik dan buruknya pengelolaan daerah hulu, dampaknya akan dirasakan semua yang ada di dalam kawasan DAS tersebut, maka timbul pemikiran perlunya kompensasi daerah hilir dan tengah untuk daerah hulu, selanjutnya kompensasi apa yang harus diberikan. Semuanya tadi perlu koordinasi dan duduk bersama dalam perencanaan pengelolaan, yang diikuti oleh semua daerah dalam kawasan DAS, namun masalahnya pengelolaan hanya dilakukan oleh PDP, sehingga seluruh kegiatan sepenuhnya dikelola oleh PDP, masyarakat setempat DAS Kali Putih hanya sebagai pekerja. Adanya hal tersebut, maka Setiap daerah (baik di hulu, tengah dan hilir) mempunyai kewajiban masing-masing untuk mengelola wilayahnya, agar DAS dapat berfungsi secara optimal.

Konservasi Lahan
            Konservasi merupakan bentuk penghematan penggunaan sumber daya alam dan memperlakukannya berdasarkan hukum alam, dimana upaya tersebut ditempuh untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah yang dalam hal ini adalah berkesinambungannya lahan. Terdapat beberapa masalah yang ada dalam upaya konservasi lahan di DAS Kali Putih Kabupaten Jember, diantaranya adalah :
1.    Jumlah penduduk dengan penyebaran yang tidak merata, yang sebagian besar tersebar di DAS Kali Putih Kabupaten Jember berdampak pada penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya di kawasan DAS Kali Putih Kabupaten Jember.
2.   Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, dengan mata pencaharian yang bersifat agraris akan memerlukan lahan, sehingga terjadi tumpang tindih kepentingan antara konservasi dan eksploitasi lahan.
3.   Terbatasnya SDM penduduk di daerah DAS Kali Putih Kabupaten Jember.
4.   Kurangnya penyuluhan tentang konservasi lahan.
Rekomendasi Konservasi Lahan
Upaya konservasi lahan di DAS Kali putih ini dapat ditempuh dengan penggunaan tanaman atau tumbuhan atau sisa tumbuhan dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi laju erosi bahkan longsor dengan cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh dan jumlah daya rusak aliran permukaan.
Konservasi ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara yaitu:
1.      Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang dengan sengaja ditanam untuk melindungi tanah dari erosi, menambah bahan organik tanah dan sekaligus meningkatkan produktivitas tanah .
2.      Penanaman Berganda
Berguna meningkatkan produktivitas lahan sambil menyediakan proteksi
terhadap tanah dari erosi. Sistem ini dapat dilakukan baik dengan cara penanaman beruntun, tumpang sari atau tumpang gilir. Tanaman berganda menggunakan dua atau lebih jenis tanaman yang ditanam serentak atau bersamaan pada sebidang tanah baik secara campuran ataupun terpisah dalam baris yang teratur, sistem ini mampu menekan laju erosi dan aliran permukaan misalnya menanam tanaman tahunan, tanama perkebunan dan tanaman semusim ditanam bersamaan dengan teknik intercropping tertentu.
4. Penanaman lorong (alley cropping)
Menggunakan dua atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah, dimana
salah satu jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman non pangan, tanaman pokok ditanam di lorong diantara tanaman non pokok sebagai pagar, sedangkan fungsi tanaman pagar adalah sebagai sumber pupuk hijau, dapat mengurangi erosi, sumber kayu bakar dan sumber makanan ternak. Sebagai contoh tanaman tanaman kopi ditanam di tengah tanaman pagar, dapat berupa mahoni, sengon, dan lamtoro.
5.   Agroforestri
Salah satu bentuk tumpang sari yang banyak diterapkan dan sangat efektif dalam menunjang konservasi tanah dan air adalah sistem agroforestri. Agroforestri merupakan pola tumpang sari yang memadukan  tanaman tahunan (hutan) dengan tanaman pertanian (tanaman pangan, hortikultura atau perkebunan). Pola ini cukup efektif dalam pengendalian erosi dan banjir, rehabilitasi lahan, dan melalui pola tanam secara khusus cukup efektif dalam konservasi lereng rawan longsor. Oleh karena itu, penetaptan luasan hutan minimum 30% dari luas DAS merupakan satu langkah yang tepat dalam menanggulangi erosi dan banjir, disamping upaya konservasi lainnya.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas menekan laju erosi, penerapan pola agroforestri dapat dipadukan dengan upaya-upaya konservasi lainnya, seperti pembuatan teras bangku, saluran pembuangan, pembuatan terjunan air dan pembuatan bangunan lainnya, sehingga sedimentasi dapat ditekan. Selain tumpang sari tanaman tahunan dan tanaman semusim (pangan) juga dapat dimasukan tanaman hortikultura dan rumput pakan ternak, sehingga tercipta pola usahatani terpadu dengan ternak. Tanaman pangan (semusim) dilakukan pada bidang teras seperti padi, kacang tanah, kedelai, jagung dan kacang panjang sebagai tanaman sela.
Peristiwa tanah longsor di DAS Kali Putih Kabupaten Jember dan daerah lain baru-baru ini merupakan bencana alam yang harus diminimalisasi. Bencana alam tanah longsor sering terjadi karena pola pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah kelestarian lingkungan, seperti gundulnya hutan akibat deforesterisasi, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman  di lahan berkemiringan lereng yang terjal. Kejadian longsor di beberapa tempat di DAS Kali Putih, diduga disebabkan kondisi lahan dengan kemiringan lebih 45o dengan permukaan lahan relatif terbuka, digunakan untuk budidaya jagung, ketela, dan pisang. Curah hujan saat kejadian sangat tinggi yang mengguyur sepanjang malam menyebabkan masa tanah di permukaan menjadi jenuh air, sehingga lereng tidak stabil lagi, dan terjadi longsor.
Beberapa pohon yang dapat direkomendasikan sebagai tanaman pagar pada pola agroforestry adalah mahoni, sengon, lamtoro, dan bambu.
5.   Penghutanan Kembali (reboisasi)
Penghutanan kembali merupakan cara yang cocok untuk menurunkan erosi dan aliran permukaan, terutama jika dilakukan pada bagian hulu daerah tangkapan air untuk mengatur banjir, secara lebih luas, penghutanan kembali dapat diartikan sebagai usaha untuk memulihkan dan menghutankan kembali tanah yang mengalami kerusakan fisik, kimia, maupun biologi, baik secara alami maupun oleh ulah manusia.
Program penghijauan dan penghutanan kembali perlu terus dilakukan dalam rangka upaya pengendalian erosi dan banjir baik di lahan petani maupun di kawasan hutan. Sistem penanaman penghutanan kembali baik di dalam dan di luar kawasan dapat dilakukan dengan dua pola, yaitu murni tanaman kayu (bisa satu jenis tanaman kayu atau campuran) maupun agroforestri. Pola agroforestri yang merupakan pola tumpang sari antara  tanaman tahunan (hutan) dengan tanaman pertanian, mampu menutup tanah dengan sempurna sehingga berpengaruh efektif terhadap pengendalian erosi dan peningkatan pasokan air tanah.  
Perhutani dalam rangka pelaksanaan program pembangunan hutan, menerapkan pola agroforestry dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk ikut berpartisipasi, seperti program pembangunan hutan bersama masyarakat (PHBM). Pada saat tanaman tahunan masih kecil petani sekitar hutan dapat mengusahakan lahan untuk budidaya tanaman semusim. PHBM yang dulu dikenal sebagai perhutanan sosial, akan berdampak positif ganda, disamping dapat membantu masyarakat secara ekonomis (dari hasil tanaman semusim dan rumput untuk pakan ternak) juga kelestarian tanaman hutan akan terjamin, karena tumbuh kesadaran petani untuk memeliharanya. Selain itu, penghijauan di lahan petani (pembangunan hutan rakyat) sangat efektif dilakukan melaui pola agroforestri, karena petani tertopang kebutuhan hidupnya dari usaha pertaniannya sekaligus sebagai upaya  penghijauan.



BAB 4. KESIMPULAN

1.      kawasan sub DAS Kali Putih terdiri dari kawasan hutan lindung, hutan produksi, kawasan perkebunan besar swasta, perkebunan rakyat, kawasan pertanian serta pemukiman.
2.      Terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi dengan kelerengan 45% yang dikelola Perum Perhutani di wilayah Sub DAS Dinoyo dan Sub DAS Kali Putih untuk di tanami tanaman kopi.
3.      Menurut data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember banyak sekali di temukan  banyak alih fungsi lahan.
4.      Penyebab banjir yang laian diantaranya adalah tingginya curah hujan selama beberapa hari berturut-turut, tidak adanya vegetasi penahan laju pergerakan tanah permukaan, peran DKLH dan Dishutbun yang kurang optimal.
5.      Dampak positif keberadaan perkebunan antara lain : terciptanya lapangan kerja, kesempatan berusaha, ekonomi, peningkatan pendapatan penduduk di sekitar kebun dan pabrik pengolahan.
6.      Perlu adanya upaya konservasi lahan baik itu melalui penggunaan tanaman penutup tanah, penanaman berganda, penanaman lorong (alley cropping), agroforestri dan penghutanan kembali (reboisasi).






DAFTAR PUSTAKA

BPK-RI. 2006. Pengelolaan Dan Pengendalian Lingkungan Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bedadung, Kabupaten Jember. BPK-RI. Jakarta.

Kartasapoetra; dan M.M Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.

Naryanto, H.S; Wisyanto; dan Bambang Marwanta. 2007. Potensi Longsor dan Banjir Bandang Serta Analisis Kejadian Bencana 1 Januari 2006 Di Pegunungan Argopuro, Kabupaten Jember. Alami 12 (2); 2007.

Naryanto, H.S; Wisyanto; dan Bambang Marwanta. 2006. Apid Assessment Pasca Bencana Longsor Dan Banjir Bandang Di Pegunungan Argapuro, Kabupaten Jember 1 Januari 2006. Alami 7 (6); 2006.

Priyantari, N; Agus S; dan Supeno. 2009. Survei Profil Muka Bumi Dan Sebaran Pemukiman Di Kecamatan Panti Kabupaten Jember Pasca Bencana Longsor Dan Banjir. Bencana 3 (6); 2009.

Putra, W.N. 2008. Bencana Alam Panti Jember Jawa Timur. http://BENCANA%20ALAM%20PANTI%20JEMBER.htm. Diakses pada 05 November 2011.

Sapei, et al.. 1992. Geologi Lembar Jember, Jawa. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi. Bandung.

Widodo, A. 2011. Peran Geokimia Terhadap Stabilitas Lereng Tanah Residu Vulkanik Di Daerah Panti Jember Jawa Timur. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.


No comments:

Post a Comment