Friday, October 19, 2012

MEKANISME PERDAGANGAN KARBON MELALUI PERJANIAN INTERNASIONAL SEBAGAI DAMPAK DARI MENINGKATNYA EMISI GAS RUMAH KACA (GRK)



MEKANISME PERDAGANGAN KARBON MELALUI PERJANIAN INTERNASIONAL SEBAGAI DAMPAK DARI MENINGKATNYA EMISI GAS RUMAH KACA (GRK)



Di Susun Oleh :
Ali Zainal Abidin                   (081510501048)
Ari Vidiarta P.              (081510501052)
Rizki Aditya P.             (081510501049)
Andika Septa S.B.H.    (081510501139)




PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER


 
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena global yang ditandai dengan perubahan suhu udara dan distribusi hujan. Dalam keadaan iklim yang berubah semua tempat dibumi akan mengalami peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan baik dari segi jumlah maupun waktunya. Perubahn iklim tidak terjadi secara seketika, melainkan melalui oroses yang berlangsung dalam jangka yang panjang dan terjadi secara berangsur-angsur.
            Penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca sejak 150 tahun yang lalu, ketika negara-negara industri atau negara maju mulai melakuakan alih guna lahan untuk membangun ekonominya. Untuk menstabilkan emisi GRK diperlukan penangan secara global melalui sebuah perjanjian internasional.
Perjanjian nasional itu adalah munculnya Protocol Kyoto. Protokol kyoto adalah  sebuah perjanjian internasional yang mengatur tatacara penggunaan emisi gas rumah kaca sehingga tidak mengganggu sistem iklim bumi. Protokol Kyoto ini  menargetkan penurunan emisi GRK paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen 2008-2012. negara-negara maju haru mampu menurunkan emisi (Sada, R. 2007).
Berdasarkan kewajiban yang sebesar itu negara maju berusah mencari cara agar terjadi pembagian beban yang adil, dengan menggunakan mekanisme pasar. Mekanisme pasar ini adalah dimana negara maju akan berusaha menurunkan emisi sebanyak-banyaknya dengan biaya yang serendah-rendah mungkin. Untuk menurunkan hal ini maka negara-negara maju tersebut menggandeng negara-negara lain dengan berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme yang ditawarkan adalah perdagangan emisi, joint implimintion, dan clear devolepment mechanism.
Clean devolopment mecahanisme (CMD) adalah negara maju ikut berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisi. Dengan demikian maka akan diperoleh hasil yang saling menguntungkan dimana untuk negara yang berkembang dapat meningkatkan pembangunan berkelanjutan, sedangkan untuk negara maju sebagai wujud dar konvensi yakni menstabilkan gas rumah kaca sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang mendasari terbentuknya protokol kyoto?
2. Bagaimana mekanisme perdagangan karbon di dunia internasional?



II. TINJAUAN PUSTAKA

Terjadinya perubahan iklim global merupakan faktor pendorong lahirnya sebuah mekanisme perdagangan karbon atau carbon trade mechanism (CTM) untuk mengurangi suhu bumi yang telah mencairkan gunung Es dikutub utara dan selatan, sehingga dibangunlah sebuah mekanisme perlindungan hutan dinegara-negara ketiga yang masih mempunyai tutupan hutan, tentunya jasa lingkungan yang dilakukan dan diberikan oleh negara-negara yang masih memiliki hutan tropis ini harus dikompensasi atau dibayar, walaupun kemudian seperti yang ditengarai oleh banyak pihak, carbon trade mechanism tak lebih dari sebuah mitos pencucian dosa negara-negara maju (Gumay, D, 2007).
Rintisan awal untuk mengembangkan mekanisme pembiayaan penyerapan karbon dimulai pada pertemuan Tingkat Tinggi Bumi I di Rio de Janeiro (Brazil) tahun 1992. Pada waktu itu lebih dari 150 negara menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengantisipasi perubahan Iklim di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan menetapkan batas-batas pelepasan (emisi) gas-gas rumah kaca ke udara. Anggota konvensi ini mengadakan pertemuan pertama di Berlin pada tahun 1995 yang disebut dengan Pertemuan Antar Pihak I atau Conference of the Parties (COP1).
Sejak itu ada beberapa pertemuan COP di beberapa negara. Salah satu pertemuan penting yaitu pertemuan ketiga (COP3) diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997 yang menghasilkan apa yang disebut Kyoto Protocol (Protokol Kyoto). Pertemuan ini menjadi landasan bagi Pengembangan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism atau CDM), yang mengharuskan negara-negara maju mengurangi pecemaran udara sebesar kurang lebih 5 persen pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 1990 (CIFOR, 2003).
Protokol Kyoto merupakan salah satu keputusan yang dibuat dalam Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang perubahan Iklim united nations framework convention on climate change (UNFCCC) dalam pertemuan para pihak ke tiga (COP-3) yang diselenggarakan di Kyoto, Desember 1997. Apabila protokol ini sudah diratifikasi, maka negara maju secara hukum terikat dengan komitmen penurunan emisi GRK. Diperkirakan protokol akan efektif dan operasional pada tahun 2002 ini di COP-7. Syarat bagi efektivitas Protokol Kyoto ialah apabila protokol diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara maju yang jumlah emisinya mencapai 55% dari total emisi yang ditargetkan (Boer, R, 2005).
Prinsip-prinsip dari Protokol Kyoto yaitu:
Protokol ini menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan global yang dilindungi PBB. Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum:
a.    Negara-negara Annex I.
Adalah Negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas
sejak revolusi industry, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara Annex I ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, Australia. Jepang merupakan satu-satunya Negara Asia yang masuk dalam kategori ini.
b.   Negara-negara non Annex I.
Adalah Negara berkembang. Mereka tidak mempunyai kewajiban menurunkanemisi gas rumah kaca, tapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Negara-negara Annex I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan pada tahun 1990.
c.    Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia dan penambahan yang diijinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.
d.   Batas pengurangan tersebut akan berakhir pada tahun 2013, dan akan dibuat target reduksi karbon yang baru. Jika pada tahun 2012 negara Annex I tidak mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dalam Annex I.
e.    Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara Annex I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari Negara lain. Pembelian dapat dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari Negara nonAnnex I melalui mekanisme CDM.
f.     Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission reductions (CERs) bagi sebuah proyek untuk dapat diperjualbelikan.
g.    Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan proyek gas rumah kaca yang dapat menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang dapat dijual pada Negara Annex I (Uliyah, L dan Cahyadi, F, 2007).





III. PEMBAHASAN

Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki    kewajiban oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon). Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka.. Perdagangan karbon yang memiliki makna yaitu melindungi karbon dan menjualnya kepada negara-negara emisi.
Negara-negara emisi memberikan kompensasi dana untuk pembangunan bagi negara-negara yang telah mempertahankan karbon mereka. Namun perlu juga dicermati apakah nilai tukar yang ditawarkan oleh negara-negara emisi sudah pantas terhadap negara yang telah mempertahankan karbon mereka. Dan pertanyaan mendasar bahwa mampukan program perdagangan karbon ini mengurangi perubahan iklim global, sehingga terjadi keseimbangan antara negara penghasil emisi dengan negara penghasil emisi.
Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO2 ini yang diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan asumsi 4 – 6 USD untuk setiap ton karbon. Sebagai wacana bahwa aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (kalimantan), kerjasama Gibon Indonesia dan BOS (Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana terdapat areal hutan seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan luasan hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan karbon ini (Razak, A, 2008)
Protokol Kyoto
Protocol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur tatacara penggunaan emisi gas rumah kaca sehingga tidak mengganggu sistem iklim bumi. Protokol Kyoto ini  menargetkan penurunan emisi GRK paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen 2008-2012. Negara-negara maju haru mampu menurunkan emisi (Sada, R. 2007).
Karbon dioksida (CO2) terus meningkat dengan campuran pencemar lama dan baru. Emisi CO2 di seluruh dunia kini telah melampaui 24 milyar metrik ton, meningkat 16 persen dibandingkan dengan tingkat tahun 1990 (Bank Dunia, 2006). Ekonomi berkembang pesat Cina dan Amerika Serikat menunjukkan peningkatan yang cepat dalam emisi CO2. Cina, yang telah menjadi pencemar terbesar kedua, telah meningkatkan emisi sebesar 33 persen antara 1992 dan 2002, sedangkan emisi CO2 berasal terutama dari negara-negara kaya, dengan Amerika Serikat menyumbang 24 persen dari total emisi dan negara-negara Uni Moneter Eropa menyumbang 10 persen. Tapi saham negara berkembang kontribusi terhadap emisi CO2 meningkat pesat. Dari tahun 2000 sampai 2002, emisi CO2 global meningkat sebesar 2,5 persen per tahun, dan sekitar dua pertiga dari kenaikan ini berasal dari negara berpendapatan rendah (World Bank, 2006) .
Semua negara yang rentan terhadap perubahan iklim," (Warren Evans, Direktur Lingkungan Hidup, Bank Dunia), "tetapi negara-negara miskin yang paling terkena, dan memiliki sarana minimal untuk beradaptasi. Perubahan iklim dapat menghambat upaya mengurangi kemiskinan di negara-negara pertanian yang tergantung di Afrika dan dataran rendah pantai. Inisiatif pengembangan pemeriksaan Iklim merupakan kebutuhan mendesak untuk menghindari bencana manusia.
Emisi CO2 berasal terutama dari pembakaran bahan bakar fosil *. Sektor energi bagi sekitar 80 persen emisi gas rumah kaca dan sektor pertanian untuk sebagian besar 20 persen sisanya (Bersih Energi dan Pembangunan: Menuju Kerangka Investasi, Bank Dunia, April 23, 2006). Penyusunan protocol Kyoto ini dilandasi dengan semakin meningkatnya emisi karbon yang dihasilkan oleh Negara-negara maju seperti America, Cina, dan India seperti yang ada pada grafik dibawah ini.

Gambar 1. Sumber: Sada, R. 2007 (http://rainforests.mongabay.com)

Gambar 2. Data Emisi Karbon di Berbagai Negara Tahun 2002
            Berdasarkan grafik diatas maka Negara yang paling banyak menghasilkan emisi karbon yang paling tinggi adalah Negara Amerika Serikat. Hal ini didasarkan karena pada Negara amerika ini merupakan Negara industrii sehingga produksi karbon akan terus meningkat. Selain itu hutan sebagai penangkap dan penyimapan karbon (CCS) kurang tersedia akibat alih fungsi hutan menjadi industry.  Untuk Negara penghasil emisi terbesar kedua adalah Negara Cina. Hal tersebut berbanding lurus dengan kemajuan teknologi di Negara Cina, dimana sector industry perdangangan Negara ini tergolong sebagai Negara yang sangat besar sumbangsihnya terhadap pasar dunia. Maka adanya hal tersebut emisi karbon yang dihasilkan sangat besar. Untuk Negara-nagara lain juga mengalami peningkatan, namun tidak sesignifikan pertambahannya jika dibandingkan dengan Negara Amerika Serikat dan Cina.  
      
Gambar 3. Konsentrasi CO2 di atmosfer yang direkonstruksi dari pengukuran langsung di atmosfer dan di dalam contoh es di kutub (Hairiah, K dan Mudiarso, D. (2007) Sumber: IPCC, 2001

Pada gambar diatas untuk membuktikan bahwa karbon yang meningkat jumlahnya adalah dengan melakukan studi detail tentang inti karbon di laboratorium 
dan pengamatan di stasiun-stasiun dalam jangka yang sangat panjang yang dilakukan
oleh para ilmuwan. Dari studi ini mereka menemukan bahwa pertama, karakteristik inti atom karbon yang berasal dari pembakaran BBF (bahan bakar fosil) berbeda dengan inti karbon dari emisi alam. Karena fosil telah terpendam di lapisan dalam sejak puluhan juta tahun yang lalu maka sifat radioaktif inti karbon nya sudah hilang sementara karbon alami yang berasal dari permukaan atau dekat permukaan bumi intinya memiliki porsi radioaktif yang cukup besar.
Meningkatnya konsentrasi karbon radioaktif rendah telah menyebabkan "pengenceran" kadar radioaktif karbon atmosfer secara keseluruhan. Kedua, dari hasil rekaman yang terdapat pada lingkar pohon (tree rings) ditunjukkan bahwa fraksi karbon radioaktif makin mengecil dalam kurun waktu antara tahun 1850 hingga 1950. Ketiga, pengamatan jangka panjang di puncak Gunung Mauna Loa di Hawaii yang berada di tengah-tengah Samudera Pasifik dan di Kutub Selatan. Data konsentrasi CO2 di atmosfer dan di dalam contoh es yang diambil dari dua tempat yang tidak mengalami gangguan berupa lonjakan, GRK antropogenik tersebut direkonstruksi dalam kurun waktu 1850 hingga 2000 menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 yang cukup berarti dari 290 hingga 360 ppm.
Protokol Kyoto membuat terobosan baru dengan mendefinisikan tiga "mekanisme fleksibilitas" inovatif untuk menurunkan biaya keseluruhan mencapai target emisi. Mekanisme ini memungkinkan Pihak untuk mengakses peluang biaya-efektif untuk mengurangi emisi, atau untuk menghilangkan karbon dari atmosfir, di negara lain. Sedangkan biaya untuk membatasi emisi bervariasi dari daerah ke daerah, efek untuk suasana membatasi emisi adalah sama, terlepas dari di mana tindakan tersebut diambil.
Semua tiga mekanisme di bawah Protokol Kyoto didasarkan pada sistem Protokol untuk akuntansi sasaran. Di bawah sistem ini, jumlah yang suatu Lampiran I Partai (dengan komitmen tertulis dalam Lampiran B Protokol Kyoto) harus mengurangi emisi selama periode komitmen lima tahun (dikenal sebagai "jumlah yang ditetapkan" nya) dibagi menjadi unit masing sebesar untuk satu ton ekuivalen karbon dioksida. Unit ini jumlah yang ditetapkan (AAU) *, dan unit lainnya yang ditentukan oleh Protokol, kontribusi dasar bagi mekanisme Kyoto dengan menyediakan untuk suatu Pihak untuk mendapatkan kredit dari tindakan yang diambil pada Pihak lainnya yang mungkin dihitung ke arah itu target emisi sendiri.
Dalam Prokol Kyoto tersusun atas tiga mekanisme  dalam mengatasi pemanasan global yakni dengan cara
1.      Joint Implementation (JI),
Dalam mekanisme implementasi bersama ini pengurangan emisi karbon didasarkan pada cara pngurangan karbon daerah tersebut. Dalam mekanisme ini digunakan untuk Negara-negara yang maju saja.
2.      Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM)
CDM adalah salah satu mekanisme Kyoto yang memungkinkan Negara maju melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, dan tujuan utama Konvensi yaitu menstabilkan emisi GRK sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Melalui investasi proyek CDM negara maju akan memperoleh kredit penurunanemisi dalam bentuk sertifikat penurunan emisi (Certified Emission Reduction, CER) yang akan diterbitkan oleh Badan Pelaksana CDM pada tingkat global setelah diverifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk.
Negara-negara berkembang akan memperoleh tambahan dana (financial additionality) dari investor untuk mengimplementasikan proyek yang mengurangi emisi GRK. Disamping itu pihak tuan rumah juga dapat menilai seberapa jauh tujuan pembangunan berkelanjutannya telah dicapai berdasarkan kriteria dan indicator yang telah disepakati bersama investor. Dengan mengadopsi criteria internasional, otoritas nasional perlu menilai dampak proyek CDM terhadapaspek-aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Kriterianya adalah agenda tuan rumah yang harus disusun oleh otoritas nasional melalui proses konsultasi public yang luas.
3.       Perdagangan emisi (Emission Trading, ET) yang mengatur partisipasi negara berkembang.
Perdagangan Emisi 'adalah salah satu mekanisme fleksibilitas diperbolehkan di bawah Protokol Kyoto yang memungkinkan negara untuk memenuhi target pengurangan emisi mereka. Negara / perusahaan dengan tingginya biaya pengurangan emisi internal akan diharapkan untuk membeli sertifikat dari negara / perusahaan dengan biaya rendah pengurangan emisi internal. Entitas yang terakhir juga akan diharapkan untuk memaksimalkan produksi pengurangan emisi biaya rendah sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka untuk menjual sertifikat kepada badan usaha biaya tinggi. Hasil keseluruhan adalah bahwa target pengurangan emisi terpenuhi, tetapi dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada yang dikeluarkan dengan mengharuskan setiap entitas untuk mencapai target pengurangan emisi mereka sendiri.
Secara sederhana, perdagangan karbon adalah suatu mekanisme perdagangan dimana negara yang menghasilkan emisi karbon dari kuota yang ditentukan diharuskan untuk memberikan sejumlah insentif kepada negara yang bisa menyerap karbon melalui proyek penanaman hutannya. Setiap negara/industri mempunyai kuota karbon yang ‘boleh’ diemisikannya. Mekanisme ini juga memperbolehkan industri yang berhasil mengurangi emisinya untuk menjual kredit karbon yang tersisa ke industri lain. Di sini, penyerapan/pengurangan gas karbon menjadi semacam jasa yang bisa diperjualbelikan.
Negara atau industri yang menggunakan bahan bakar minyak secara berlebihan menyebabkan kapasitas pohon yang bisa menyerap karbon sangat terbatas baik di negaranya sendiri maupun di negara lain. Karena karbon dari satu negara bisa menyebar ke negara lain maka akibatnya dirasakan di negara lain juga. Orang, industri atau negara yang menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih tinggi daripada jatah penyerapan di negaranya sendiri disebut debitur karbon yang berutang karbon kepada kreditur karbon, yaitu negara miskin yang mempunyai lebih banyak hutan atau pohon namun lebih sedikit memanfaatkan jatah penyerapan karbon karena
industri atau penggunaan bahan bakar minyak lebih sedikit.
Perdagangan karbon selain memerlukan kesepakatan internasional juga memerlukan adanya persetujuan dan partisipasi berbagai pihak dari pemerintah pusat suatu negara sampai kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Suatu lembaga yang memerlukan kredit untuk membiaya proyek penanaman pohon untuk penyerapan karbon harus mendapat persetujuan dan kerjasama dengan masyarakat. Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi salah satu prasyarat dalam kegiatan ini.
            Masih banyak negara yang maju tidak sepakat akan diadakankanya perdagangan karbon melalui perjanjian kyoto. Mereka melakukan Mekanisme perdagangan karbon melalui jalur non Kyoto.
Tanpa kredit emisi (Non-Kyoto)
Sebagai negara yang memiliki lahan hutan yang sangat luas dan sebagian besar mengalami kerusakan yang parah, Indonesia perlu berupaya secara kreatif agar lahan-lahan tersebut dapat direhabilitasi dan dikembalikan fungsinya. Untuk tujuan pembangunan berkelanjutan kebijakan tersebut sangat tepat karena akan memperkokoh pilar-pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Tetapi berdasarkan ketentuan yang ada dan berlaku sekarang, jelas bahwa mekanisme Kyoto tidak mungkin dimanfaatkan. Pembeli di pasar tidak selamanya hanya tertarik pada kredit karbon yang mengikuti mekanisme (Kyoto Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007).
Pasar non-Kyoto banyak terdapat di negara maju berupa dana perorangan, yayasan, dan utilitas publik sering diinvestasikan kembali untuk membangun citra publik (public image) lembaga-lembaga tersebut melalui kegiatan-kegiatan konservasi alam. Dana semacam ini biasanya sudah dibebaskan dari pajak sehingga nilai nominalnya makin besar. Lembaga keuangan seperti Bank Dunia pun berupaya mencari investor yang tertarik melakukan kegiatan konservasi di negara berkembang. Sebagian dari porsi biocarbon Fund (BCF) bahkan akan dirancang untuk proyek-proyek yang memiliki potensi menyerap karbon sambil melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan mencegah degradasi lahan. Kegiatan yang lebih sarat dengan muatan ekologis tersebut meliputi:
Rehabilitasi dan pengelolaan hutan
Banyaknya hutan yang mengalami degradasi memerlukan rehabilitasi dan pengelolaan yang meningkatkan fungsi rosot karbon, fungsi hidrologis dan fungsi ekologis hutan. Peningkatan cadangan tetap akan dapat dipertahankan jika disertai sistem pengelolaan yang baik. Melalui kegiatan ini konservasi keanekaragaman hayati dan konservasi lahan dapat langsung diintegrasikan.
Pencegahan deforestasi
Kegiatan ini samasekali ditolak untuk diimplementasikan melalui CDM dengan alasan justru akan mempercepat deforestasi demi perolehan karbon yang besar. Konservasi hutan lindung, cagar alam dan taman nasional dapat menghasilkan dan mempertahankan cadangan tetap yang tinggi dalam jangka yang panjang. Konservasi terhadap keanekaragaman hayati pada kegiatan ini juga sangat signifikan.
Revegetasi
Dapat dilakukan pada lahan kritis dan tidak produktif yang diinvasi alangalang sehingga dapat memberikan perolehan karbon dengan cadangan tetap yang tinggi. Aspek pencegahan degradasi lahan pun terlihat akan sangat signifikan jika kegiatan ini diimplementasikan, karena kegiatan revegetasi akan memperbaiki keseimbangan hara tanah dan produktivitas lahan. Lahan semacam ini meliputi areal yang luasnya puluhan juta hektar.
Menekankan adaptasi
Implikasi dari pembatasan jenis kegiatan CDM pada aforestasi dan reforestasi adalah bahwa kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan mitigasi yang absah di bawah prosedur CDM. Kegiatan konservasi dan rehabilitasi dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan perubahan iklim dengan mekanisme yang tidak diatur oleh Protokol Kyoto atau CDM, tetapi oleh Konvensi Perubahan Iklim. Dana yang dikelola Global Environmental Facilities (GEF) seperti dana adaptasi dan Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund) harus diakses untuk kepentingan ini (Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007).
 
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil data yang telah didapatkan, maka dapat disimulkan bahwa :
1.      Emisi gas rumah kaca (GRK) di bumi mengalami peningkatan sangat signifikan,
2.       Tingginya emisi gas rumah kaca mendasari terbentuknya perjanjian internasional (Protokol Kyoto).
3.      Penerapan Mekanisme Protokol Kyoto dapat menyeimbangkan sistem perdagangan karbon antara Negara Pengikat karbon denga Negara penghasil emisi.



DAFTAR PUSTAKA

Boer, R. 2005.  Penamatan karbon Pada Berbagai Bentuk Sistem Usaha Tani Sebagai Salaha Satu Bentuk Multifungsi. Jurnal Penalitian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB. Bogor.

CIFOR, 2003. Warta Kebijakan CIFOR (Center For international Forestry Research). Desa Long Loreh, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Kalimantan.

Gumay, D. 2007. Perdagangan Carbon, Mitos Negara Maju.
http://www.dewagumay.blogspot.com. Diposakan pada 5 Oktober 2007.

Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007. Bahan Ajar Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon Terestrial. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. © copyright World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia.

IETA, 2005. State and Trends of Carbon market, Washington DC.

Razak, A. Kelayakan Kompensasi Yang Ditawarkan Dalam Perdagangan Karbon. Makalah Manajemen Hutan Lanjutan (KTMK 612). Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manajemen Konservasi Sumber Daya Aalam dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sada, R. 2007. CarbonTrading. Dolphin (P.G) Institute of Bio-Medical and Natural Sciences, Dehradun H.N.B. Garhwal University. India.

Saghir, J. Carbon Trading. http://rainforests.mongabay.com. Di poskan pada juli 2004.

Uliyah, L dan Cahyadi, F,. 2011. Question and Answer tentang Keadilan Iklim
Edisi I Tahun 2011. Knowledge Management Yayasan Satudunia. Yayasan Satudunia One World Indonesia.
.
World Bank, 2006. China and India show rapid increase in global warming emissions. (www.mongabay.com)


1 comment:

  1. Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
    hingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
    profit,bergabung sekarang juga dengan kami
    trading forex fbsasian.com
    -----------------
    Kelebihan Broker Forex FBS
    1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
    2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
    3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
    4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
    5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
    Indonesia dan banyak lagi yang lainya
    Buka akun anda di fbsasian.com
    -----------------
    Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
    Tlp : 085364558922
    BBM : fbs2009

    ReplyDelete